Cemara

77 13 0
                                    

"Yang utuh belum tentu bisa saling merengkuh, yang hancur pun juga belum pasti saling jauh. Cemara adalah ungkapan sederhana, namun mewujudkannya membutuhkan usaha luar biasa." ~Asa Harsa~

-------------------

Setiap mendengar kata cemara, yang terbayang adalah keluarga yang utuh. Ada Ayah, Ibu dan anak. Cemara adalah ungkapan yang pasti didambakan setiap anak. Tapi apakah yang utuh sudah pasti cemara?

Langit memancarkan rona jingga tanda matahari akan terbenam. Langit yan mulai menggelap sama sekali tidak meredam kebisingan ditengah kota Bandung. Cahaya lampu mulai menerangi setiap sudut Kota.

Motornya melaju membelah keramaian Kota Bandung, sayup-sayup Harsa mendengar dering ponsel. Tangan kirinya mengambil ponsel di saku baju, di layar ponsel tertera nama "Mama" Tanpa pikir panjang, jarinya menggeser icon hijau di ponsel.

"Hallo, Harsa kamu dimana? Kenapa belum pulang?"

"Hehe Harsa tadi lupa izin ada kerja kelompok. Bentar lagi Harsa sampai, Ma."

"Kamu ini kebiasaan, hati-hati kalo bawa motor, jangan ngebut."

"Iya." Panggilan diputus oleh Mama Harsa.

Merasa panggilan telah terputus, Harsa menambah laju motor.

Setelah menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, motor Harsa sekarang telah terparkir di garasi rumah miliknya.

"Assalamu'alaikum, Harsa pulang."

Harsa tersenyum teduh dikala netranya melihat raga sang Mama, di wajah cantik itu terbit senyum teduh.

"Waalaikumsalam. Kamu mandi gih, habis ini makan malam bareng. Papa kamu udah nungguin."

"Tumben Papa udah pulang, kesambet apaan Papa kali ini?"

"Papa denger Harsa." Sahutan dari ruang makan mengundang tawa Harsa dan Mamanya.

"Cepet gih mandi." Titah sang Mama.

Tangan Harsa di buat untuk berpose hormat, "siap Mama."

Tanpa menunggu lama, Harsa sudah berada di kamar. Harsa meletakan tas, setelahnya dia menuju kekamar mandi. Sepuluh menit telah berlalu, Harsa keluar dari kamar mandi, dia segera menggunakan kaos putih dengan celana hitam selutut. Merasa sudah selesai dengan agendanya, Harsa menuju ke lantai bawah.

Dari tangga Harsa dapat melihat Mama dan Papanya sedang tertawa, entah menertawakan apa, Harsa tidak tahu. Senyum simpul tertera di wajah tampanya, perasaan hangat menjalar dalam hatinya.

"Harsa, cepat turun." Suara sang Mama membuyarkan lamunan Harsa, dia bergegas turun dan bergabung dengan Mama dan Papa.

"Maaf, lama." Melihat wajah Papanya yang sangat ketara lelahnya, membuat Harsa tak enak karena harus menunggu dirinya lama.

"Gak lama kok, cuma sebentar. Sebentar banget, sampe Papa udah mau mati kelaparan." Jawab sang Papa dengan muka yang dibuat semelas mungkin. Memang banyak drama bapak Jonathan ini.

"Papa lebay, aku juga gak nyuruh Papa nunggu tuh."

Semakin dibuat melas muka Jonathan mendengar jawaban dari anaknya.
"Jahat ya kamu, padahal Papa udah nungguin kamu, tapi kamu gak ngehargain. Oke, uang jajan kamu Papa potong."

Mata Harsa membola mendengarnya, Harsa benar-benar tidak bisa berkutik jika menyangkut dengan uang. Siapa yang bisa terima, Harsa menggeleng kuat,
"Jangan dong Pa, Harsa bercanda kok. Makasih Papa sayang udah nungguin Harsa."

Tingkah laku Harsa mengundang tawa Mama dan Papanya, entahlah bagi mereka semua tingkah laku Harsa sangatlah menggemaskan.

"Berantemnya nanti lagi, ayo makan. Gak baik berantem sambil makan." Interupsi Rania.

"Siap, Ma." Ucap Harsa dan Papanya serentak, mereka tertawa sebentar sebelum memulai makan malamnya.

Sebenarnya asa Harsa itu sederhana, berkumpul, bercanda gurau dengan keluarganya.

Bukankah keluarga Harsa merupakan gambaran dari keluarga cemara, utuh dan saling menyayangi.

Harsa bersyukur, lahir di tengah-tengah orang-orang yang menyayanginya. Bahkan, jika kehidupan kedua itu ada, dia ingin lahir dari keluarga yang sama.

"Bagaimana sekolah kamu?" Suara bariton memecah keheningan.

"Ya gitu aja, mau gimana lagi." Dengan tangan yang masih sibuk melauk nasi, Harsa menjawab dengan santai.

"Jangan terlalu santai, Harsa. Kamu sudah kelas sebelas. Kamu udah punya cita-cita?" Suasana tiba-tiba menjadi serius, dapat Harsa rasakan, Ayahnya menatapnya dengan tatapan serius.

"Harsa belum tahu nanti mau jadi apa, lagian kita gak tahu nanti masih hidup atau gak."

"Hush, gak boleh gitu. Kita memang gak tahu ajal kita, tapi bukan berarti kita gak berusaha. Sa, Mama sama Papa gak akan nuntut apapun dari kamu. Cukup jadi Harsa apa adanya." Nasihat beserta sapuan lembut Harsa dapatkan dari wanita paruh baya di sampingnya.

"Just be yourself, Papa sama Mama kamu akan selalu bangga sama kamu."

Harsa mengangguk mengerti akan ujaran Ayahnya. Harsa benar-benar merasa beruntung.

"Penulis, Harsa boleh jadi penulis? Harsa janji gak akan ngecewain kalian." Harsa berucap dengan pelan, dia sedikit takut bahwa cita-citanya tidak di dukung.

Semua pikiran buruk sekita sirna saat melihat senyum dari Mama dan Papanya.

"Apa yang kamu mau bakalan kita dukung, Harsa."

Harsa tersenyum, dia senang sekali saat tahu bahwa orangtuanya tidak menentang keinginannya.

Hidup Harsa itu sempurna, lahir di keluarga yang berada dengan orangtua yang sangat menyayanginya. Namun, bukankah tidak ada yang sempurna di dunia ini?

Haiii 👋👋👋Aku mau ngucapin Terimakasih buat kalian yang udah mau baca cerita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Haiii 👋👋👋
Aku mau ngucapin Terimakasih buat kalian yang udah mau baca cerita ini.
Kalau kalian suka, bisa vote dan komen ya....
Book ini mungkin bakal slow update, karena aku rl lumayan sibuk. Tapi aku akan berusaha buat cepet update, buat kalian yang udah mau baca book ini...
Love buat kaliannnn

ASA HARSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang