1. Masa Kecil

180 15 2
                                    

Di halaman istana, dua anak laki-laki duduk bersila, mengamati Ayahandanya yang berjalan mondar-mandir. Langit siang ini cerah, angin sejuk berhembus dan burung berkicau merdu saling bersahutan. Roti dalam piring hampir habis, mereka bingung mengapa Ayahandanya tak juga berbicara.

"Homados, kau menguap?" tanya Ayahnya, menatap anak laki-laki yang kecil dengan mata yang tajam.

Ekspresi wajahnya seketika berubah, ada ketakutan disana sehingga ia gagal membuka mulutnya.

"Ayah, bisakah kita mulai? Sore ini aku dan Homados ada latihan memanah," anak laki-laki yang besar berucap.

Ayahnya memicingkan mata, kemudian duduk pada kursi di hadapan mereka.

"Askalafos, sudahkan kau menghitung jumlah bintang di langit tadi malam?" suara sang ayah pelan namun tegas.

"Sudah, Ayah. Tetapi aku tidak bisa memastikan jumlahnya, karena berubah-ubah," jawab Askalafos.

"Itulah kehidupan. Kau tidak bisa menghitung jumlah bintang di langit malam, kau juga tidak bisa menakar berapa liter air lautan. Semua yang ada pada semesta ini memiliki jumlah tak terhingga. Sama halnya dengan kemungkinan, kesempatan, bahkan takdir,"

"Semua itu tidak pasti?" tanya Askalafos dengan mata mengerjap.

"Ya, sesuatu yang tidak bisa diukur, dihitung, tetapi bisa dicatat sebagai pengingat dan pembelajaran," ayahandanya menatap mata Askalafos dan Homados bergantian.

"Hari ini, kita bisa duduk di halaman dengan angin sepoi-sepoi. Kalian bisa makan roti dengan nikmat, bisa tidur dengan nyenyak, namun tak ada yang tahu nasib kita puluhan tahun ke depan,"

Homados mengacungkan tangannya, ingin bertanya, "Ayah, kemarin Guru Uranus memberitahuku cara memanggil lumba-lumba, tetapi aku hanya bisa memanggil dua, semestinya banyak lumba-lumba yang muncul,"

"Kemarin kau ke laut?" Ayahnya bingung.

"Ya Ayah, tetapi aku hanya bersama Guru Uranus dan petugas kapal,"

"Apa Guru Uranus memberitahu mengapa kau gagal memanggil lumba-lumba?"

"Karena aku tidak fokus, maka itulah kekuatanku tidak maksimal,"

"Kau sudah mengerti. Lain kali, kau harus lebih fokus dan semangat berlatih. Kekuatanmu itu istimewa, Homados. Kau adalah dewa dengan kekuatan yang bermanfaat bagi banyak rakyat nantinya. Maka, kau harus berlatih lebih keras,"

Homados mengangguk, baginya, nasihat ayah adalah perintah. Jika kemarin ia gagal, selanjutnya lumba-lumba itu harus berhasil datang bergerombol, sebagai bukti nyata bahwa ia telah fokus melatih kekuatannya.

"Bagaimana denganmu, Askalafos? Usiamu kini 15 tahun," Ayahnya mengalihkan pandangannya kepada Askalafos.

"Tidak ada masalah, Ayah. Aku sudah berlatih mengendalikan hujan dan petir, membaca tafsir alam, memanah, beradu pedang, membuat granat, dan banyak lainnya," Jawab Askalafos tenang.

"Dan hasilnya?"

"Tidak bagus dan tidak juga jelek. Biasa-biasa saja. Guru Meda berkata, aku harus berlatih lebih keras lagi supaya ketika usiaku 17, aku telah cakap dalam berbagai keahlian,"

"Baiklah, nanti Ayah akan bertanya hasil latihan kalian kepada Guru Uranus dan Guru Meda, jika kalian berbohong, Ayah akan memberi hukuman,"

"Baik Ayah," Jawab Askalafos dan Homados bersamaan.

"Sekarang kembalilah, Ayah tetap disini untuk memikirkan beberapa persoalan,"

Begitulah hari-hari yang dilalui Askalafos dan Homados ketika berusia 10 tahun dan 15 tahun. Usia mereka terpaut cukup jauh, namun dua anak istimewa ini memang diciptakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Mereka kompak dan sopan, sungguh layak dijadikan panutan.

Askalafos memiliki wajah yang rupawan, perpaduan Dewa Horkos dan Dewi Thalassa, namun lebih cenderung mirip Ibundanya. Kedua matanya lebar simetris, alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya berwarna merah muda dengan ukuran yang tebal, gigi-giginya berjajar rapi, kulitnya seputih susu dan rambut hitam legamnya berkilau indah. Tubuhnya tinggi, tak terlalu kurus dan tak juga gemuk. Seolah diciptakan dengan sangat sempurna, Askalafos tumbuh kian menawan dari hari ke hari. Semua rakyat tak henti memuji ketampanannya. Terlebih, ia ramah kepada semua orang.

Homados memiliki wajah yang cenderung mirip Ayahandanya. Matanya bulat lebar, alisnya tebal, hidungnya mancung, bibirnya tipis, giginya tersusun rapi dengan bagian depan seperti kelinci, membuat dia terlihat lucu jika tertawa. Homados juga rupawan, tubuhnya sedikit berisi dan sejak kecil sangat lincah. Ia pandai menggambar, beberapa bagian tembok istana ia coret-coret dengan pewarna alami dari tumbuh-tumbuhan. Cita-citanya sebenarnya menjadi pelukis, tetapi ia sudah ditakdirkan untuk lahir menjadi dewa.

Setiap hari, dua putra raja ini akan mengikuti latihan untuk mengasah kemampuan mereka. Askalafos memiliki guru pribadi bernama Meda, sedangkan Homados bersama Guru Uranus. Setiap dua sampai tiga hari sekali, ayah mereka yaitu Dewa Horkos, akan mengajak mereka duduk di halaman dan mengobrol singkat. Tujuannya hanya ingin memastikan apakah kedua putranya jujur atau tidak. Dewa Horkos tak ingin melewatkan perkembangan putranya karena dari merekalah, semesta bisa menjadi lebih baik beberapa tahun lagi.

Hampir seluruh rakyat mencintai Askalafos dan Homados, lahirnya kedua anak ini membuka kesempatan untuk Kerajaan Alexiares memperpanjang kekuasaannya di Kharites Hefaistos.

Filotimo [ Sense of Honor ] - Taejinkook AUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang