Pernikahan

0 0 0
                                    

Dekorasi mewah dan megah bernuansa moderen, terpasang begitu rapinya. Hilir mudik orang saling bergantian mengucapkan selamat kepada ke-dua mempelai yang baru saja selesai mengucapkan akad nikah menjadi pemandangan indah siang hari ini.

Anak-anak yang menangis meminta dibelikan mainan, antrian orang-orang di prasmanan, serta host yang terus menggoda kedua pengantin turut memeriahkan acara pesta pernikahan itu.

Dari kejauhan, terlihat dua orang pemuda tengah duduk sambil menikmati hidangan pesta yang tersedia di hadapannya.

"Tiga tahun berhubungan, tak menjamin sampai ke pernikahan ya Qi." ucap salah satu pemuda bernama Rizky mengawali pembicaraan. Sedangkan orang yang di ajak bicara hanya tersenyum kecil sambil melirik sekilas ke atas pelaminan.

"Jodoh, maut, bahagia dan celaka semuanya ada di tangan Tuhan Riz. Kita bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan." ucap Haqi dengan nada tenang.

Namun, meskipun begitu semua orang tahu jika hati dan perasaannya tak setenang nada bicara laki-laki itu sekarang.

Tiga tahun bukanlah waktu yang singkat dalam menjalani sebuah hubungan, apalagi jika ujung-ujungnya hanya menjadi tamu undangan.

"Pulang duluan ya riz, aku mau bantuin umi di rumah. Sendirian soalnya, gak ada yang bantuin. Assalamu'alaikum,"  ucap Haqi sembari beranjak pergi meninggalkan Rizky yang masih terlihat tengah menikmati makanan di depannya.

"Waalaikumsalam warohmatuloh. eh Qi, ikut pulang aja deh gabut juga kalo sendirian di hajatan orang hehe..."

"Bilang aja makanannya udah abis," ledek Haqi melirik makanan di atas piring yang terlihat tinggal sedikit.

"Nah itu juga salah satunya," jawab Rizky cengengesan.

....

"Assalamu'alaikum Um,"

"Waalaikumsalam, udah pulang Qi?" jawab seorang wanita yang di panggil Umi, dari dalam rumah.

"Baru pulang dari kondangan mantan ya mas, haha..." kali ini bukan Haqi yang menjawab melainkan kakak perempuannya yang bernama Rena, sambil menggendong anaknya yang masih berusia 8 bulan keluar dari kamar.

"Daripada galau, mending kamu main sama Qisya aja." ucap Rena sambil memindahkan Qisya dari pangkuannya ke pangkuan Haqi.

Sedangkan Haqi hanya bisa pasrah menerimanya sambil mendumel kecil.

"Emang ngeselin punya mbak," gumamnya yang masih bisa di dengar Rena.

"Sabar ya mas, mungkin bukan jodohnya. Ren, Ren... Seneng banget kamu gangguin adik kamu." Ucap Umi mereka sambil geleng-geleng kepala kemudian tertawa kecil dan kembali ke dapur.

Padahal anak-anaknya sudah dewasa semua, tapi tingkahnya terkadang masih seperti anak kecil. Tingkah mereka yang konyol juga terkadang menjadi hiburan untuk Uminya.

Sebagai anak terakhir Haqi terkadang  masih manja dengan Uminya, dan Rena sebagai saudari yang paling dekat dengan Haqi masih sering mengganggu adiknya itu sedangkan saudaranya yang lain sudah berumah tangga dan tinggal jauh di kota sambil bekerja. Rena juga sudah menikah, tapi dia tinggal bersama ibunya karena suaminya juga bekerja di luar kota juga.

"Mbak ih, aku mau nyiapin buat warung loh."

Haqi menyerahkan Qisya dari pangkuannya, tapi Qisya menolak untuk melepaskan pegangannya dan malah menangis saat ibunya hendak mengambil alih.

"Tuh kan, Qisya aja gak mau lepas. Udah aja sih mas sama kamu, masih pagi juga siapinya nanti aja!"

"Mbak sih, jadi gak mau lepas kan." ucap Haqi sambil mencoba mendiamkan keponakannya yang masih menangis itu.

"Kangen dia tuh sama Om nya, ajak main kenapa sih. Itung itung latihan sebelum nanti kamu jadi bapak. Nitip dulu ya mas, aku mau bantuin ibu dulu ke dapur." Setelahnya wanita itupun melenggang pergi meninggalkan Haqi dan Qisya yang sudah berhenti menangis.

"Yaa gimana lagi kalo udah nempel mah susah," gumam Haqi.

"Qisya, Om ngantuk. Mainnya di kamar aja ya, sambil tidur sama Om." ucapnya pada bayi itu yang entah mengerti atau tidak tapi dia diam saja sambil memainkan kancing baju kemeja yang dipakai Haqi.

Perlahan, Haqi mengelus rambut Qisya dengan lembut, Lama-lama bayi itu mulai terlihat mengantuk dan mulai memejamkan matanya terlelap di samping Haqi yang juga mulai memejamkan mata kerena lelah.

....

Di tempat lain...

"Aaakh!!! di ghosting muluu..." teriak seorang wanita sambil melemparkan handphone yang ada di tangannya ke atas kasur kemudian disusul dia melemparkan dirinya sendiri.

"Kenapa lagi Ayyu? sini sini cerita, cup, cup, cup... jangan nangis..." ucap Hesti yang sendari tadi duduk di atas kasur sambil memperhatikan Ayyu yang tiba-tiba datang sambil menangis.

"Dia fikir dia siapa siih, so soan ghosting anak orang! ganteng juga gak ganteng-ganteng amat padahal, Aseeem!" teriak Ayyu sambil tetap pada posisi tidur tengkurap di samping Hesti.

"Kamu pengen sayur asem yu? ya nanti tinggal bikin, beli ke pasar aja bahannya. Nanti aku anterin ya, udah jangan nangis lagi!" ucap Hesti yang salah dengar karena suara Ayyu teredam bantal di pelukannya.

"Astaghfirullah, yaallah hampura dosa abi iyeuung (Astaghfirullah, yaallah ampuni dosaku ini)." Frustasi Ayyu.

Perlahan Ayyu membalikan badannya menjadi telentang, sampai terlihat butir-butir air mata yang berjatuhan serta beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.

Antara kesal dan menahan tawa, Ayyu hanya terdiam sambil menutupi matanya yang sembab karena menangis.

"Bukan sayur asem Hesti, astaghfirullah!" gumam Ayyu yang masih bisa di tangkap oleh indra pendengaran Hesti.

"lah kan tadi kamu bilang asem, ta kira kamu pengen makan sayur asem." ucap Hesti sambil tertawa kecil.

Ingin rasanya Ayyu berteriak sekeras-kerasnya saat ini, tapi dia hanya bisa ikut tertawa sambil menangis.

"Gak gitu sayangku, cintaku, love love sekebon pokonya buat bu Hesti." Ayyu sedikit ngegas, sedangkan Hesti hanya tertawa kecil menanggapi ucapan temannya itu.

"Ya terus kamu maunya gimana?" tanya Hesti sedikit lebih serius dari sebelumnya, saat inipun dia sudah mulai berhenti tertawa.

"Emang ya tuh cowok so banget, awas aja kena karma ntar hiks.."

"Iya iyaa, pasti dapet balesan yang setimpal ko," Ucap Hesti mencoba menenangkan Ayyu, "Kamu pacaran sejak kapan sama dia emang?" Tanya Hesti.

"Gak pacaran sih, tapi emang deket udah lama. Gue udah kayak jemuran aja yekan, di gantungin mulu gak di angkat-angkat." Ayyu tertawa kecil.

Hesti hanya tersenyum kecil, karena dia sudah tahu jika temannya yang satu ini sering bercerita tentang laki-laki yang sedang dekat dengan Ayyu.

"Yaudah lah Ayyu, si paling Ayu. Lepasin aja orang kayak gitu mah, nanti insyaallah kamu bakal nemuin orang yang sayang sama kamu pake banget mungkin belum waktunya aja. Udah ya, mending sekarang tidur."

Perlahan tangisan Ayyu mulai mereda, meskipun masih terdengar isakan kecil dari bibirnya. Netra wanita itu sudah terpejam walau dengan butir-butir air mata yang masih keluar dari sana dan membasahi pipinya yang chubby.

Mungkin netra wanita itu tertutup, tapi berbeda dengan pikirannya yang mulai berkelana kemana-mana sampai air matanya masih turun dengan deras membasahi bantal miliknya.

Sekelebat ingatan-ingatan masa lalu yang menyakitkan memenuhi pikirannya, mengganggu jiwa raganya  hingga terus terjaga. Membuat jiwanya tergoncang, karena ingatan-ingatan itu adalah hal yang sangat ingin dia lupakan.

Rasa sakit, kecewa, amarah, dendam, kebencian dan penyesalan bercampur menjadi satu karena terbukanya luka-luka lama. Sampai Hesti tak sadar tangan wanita di sampingnya itu mengambil sebuah cermin dari atas meja yang ada di dekatnya dan melemparkannya ke pojok kamar itu dengan keras. Hingga...

Pray....


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUISI untuk IlhaqiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang