Adelita || 2

129 50 108
                                        

Banyak cerita yang kadang tidak ditempatkan sebagai prioritas, beberapa mungkin dianggap kurang penting bagi orang lain meski sebagian lainnya menganggap itu momen yang tidak mungkin bisa diulang kembali.

Begitu juga denganku, menatap suasana riuh rendah yang semula kacau perlahan bisa diakhiri dengan baik. Panitia keamanan dan beberapa lainnya bekerjasama dengan gesit, di luar sana ternyata pihak berseragam sudah siap turun tangan ketika keributan ini tidak berhenti.

Sebuah jaket menutup bahuku, malam ini memang terasa mencekam terlebih suasana forum yang sama sekali tidak kukuasai. Syahib duduk di kursi sebelah kanan, dia mengetuk bolpoin yang dibagikan oleh panitia ke sampul buku hingga menimbulkan bunyi.

"Eh, Wi, minta tolong ka," ujar Syahib saat salah satu teman cabangnya melintas.

"Kenapa, Kak?" tanya Dewi dengan logat khasnya.

"Fotokan ka dengan Lita, nah. Untuk kenang-kenangan ji," pinta Syahib.

Gadis berkulit kuning langsat, lesung pipi manis dengan hidung mancung itu mengangguk. Dewi Falsafani. Aku hanya tahu itu, perempuan yang juga menjadi peninjau dalam forum ini. Orangnya sangat ramah, mudah membaur dan tahu bagaimana menempatkan diri. Dia mengambil gawai Syahib, membuat jarak yang tepat sebelum membidik dengan jarinya.

"Sudah mi?" tanya Syahib.

"Sudah ji, Kak. Iyahaa ... kubilang nanti sama kak anu."

"Eh, jangan begitu bede. Kita, 'kan, baik."

Dewi berlalu setelah puas meledek, kukira lelaki itu juga akan pergi karena beberapa orang terlihat tengah mengambil foto bersama. Namun, suara dalamnya menarikku untuk yakin bahwa dia tidak kemana-mana.

"Nanti pi kukirim nah, mau kulihat-lihat dulu sampai besok."

"Dih! Gak bisa gitu lah."

Syahib tersenyum, ia kembali bergabung dengan kerumunan teman-teman yang sedang bersuka cita. Bagiku, ini bukan hal yang biasa, menatap langsung sosok dengan kepemimpinan tertinggi dalam organisasi secara nyata. Beliau yang mendapat mandat serta amanah, terlihat merangkul dan kuharap akan mampu menyatukan beberapa yang sebelumnya terberai karena kondisi egoisme manusia.

Dia sudah milik seseorang, batinku.

Bohong jika aku mengabaikan kalimat Dewi, terlebih mereka datang dari tempat yang sama dan paham satu sama lain. Entah mengapa, rasanya ada sesuatu yang aneh saat mengetahui hal itu. Seperti hilangnya keinginan untuk bertahan, tetapi terlalu pengecut untuk mundur dan menyelesaikan.

Habis masa, habis rasa.

Begitu yang pernah senior katakan, perempuan yang semula kukira kejam ternyata benar-benar membekali hal-hal tak kasat mata yang membuatku sadar. Kegiatan ini akan segera berakhir, aku yakin esok kehidupan akan terus berjalan dan hanya diriku yang masih mengukirnya dalam kenangan.

"Melamun terus, ya. Padahal dicari dari tadi ini."

Suara dan logat yang begitu unik, meski selalu menggunakan bahasa baku, dia tidak bisa menghilangkan logat khas yang berhasil membuatku tersenyum.

"Kakak! Aku rindu."

Dibalasnya pelukanku, dia tertawa begitu renyah seolah menghilangkan segala ragu. Sosok yang kujumpai setahun lalu, menjadi tempatku bercerita tentang segala hal yang tidak bisa kubagi dengan lainnya.

"Kak, dari mana? Kita baru ketemu, kakak ada di lokasi lain, kah?"

"Iye, di sana ka, karena perempuan ji toh?"

"Terus aku gimana? Perempuan tapi di sini."

"Disuruh mi cari jodoh, sudah dapat?"

"Iih bercandanya, belum lah. Masih bukan arahnya itu ke sana, Kak."

Husnaeni Jasmine. Perempuan melati yang terlihat tomboi, tetapi hatinya baik bahkan mungkin yang kaku hanya gayanya. Seorang senior dari wilayah lain yang kerap membantuku, dia juga yang selalu menanamkan agar aku jujur pada diri.

Perempuan itu datang bersama dua rekannya, kelihatannya berbeda cabang karena aku yakin sosok ini sangat terkenal. Selain karena sepak terjangnya, beberapa orang mengenal sosok kak Jasmine sebagai tempat meletakkan pundak. Perempuan yang menularkan virus positif, dia berkilau meski sedang berjalan di tempat yang silau.

"Besok belum mau pulang, toh?"

"Belum, Kak."

"Besok datang ke stand, ada kujaga di sana."

"Insya Allah."

Memikirkan hari esok, sepertinya aku enggan setelah mengingat Syahib akan kembali malam ini juga. Sebelum duduk, gawaiku berdering menampilkan display seseorang yang kuyakini pasti tengah penasaran. Dia yang kemarin kujanjikan akan menelfon, aku belum ingin menghubungi tapi ia sudah lebih dulu mengambil inisiatif.

"Assalamu'alaikum, siap arahan, Kanda!"

Aku tersenyum mendengar tawanya, kak Calvin adalah satu dari dua orang yang paling geli saat kupanggil dengan sebutan 'Kanda'. Padahal, itu memang budaya, katanya untuk senior laki-laki sebutannya Kanda, untuk senior perempuan disebut Yunda.

"Biasa aja lah, gimana kabar, Dik?"

"Alhamdulillah, bagaimana keadaan di sana?"

Kak Calvin pasti memahami nada bicaraku, ada kekeh yang kudengar di seberang sana. Mungkin dia sedang tidak sendiri, ada kakak-kakak yang lain meski samar kudengar.

"Jadi, sudah paham situasi, 'kan?"

Aku yang mengangguk tak lama sadar bahwa kak Calvin tidak melihatnya, mengembuskan napas lelah sebelum menumpahkan semuanya. Kak Calvin bukan senior yang egois, aku melihatnya sebagai sosok yang mau mendengar dan memahami sebelum mengambil kesimpulan.

"Begitu beratnya amanah, makanya kita bukan tidak percaya. Hanya kadang, kita butuh orang yang tepat untuk memikul beban."

Aku masih mendengar kalimat dari senior saat merasakan uap hangat di pipi, seseorang tersenyum di depanku menampakkan gigi gingsulnya. Manis. Bukan, aku tidak sedang me-review orang itu, aku tengah mendengar percakapan lepas kak Calvin dan yang lain. Interaksi mereka bagiku sangat harmonis, beberapa yang belum paham tidak akan menemukan titik hangat tersebut.

"Jadi, kapan pulang?"

Suara kak Galih menginterupsi diamku, aku tersenyum saat teman di depan bertanya siapa yang sedang kuajak berbincang di gawai. Lelaki itu pun beranjak ketika kopi yang baru saja dibawanya sudah kuambil alih, aku melanjutkan menjawab pertanyaan dari kak Galih, kak Ezar dan yang lain.

"Senangnya mi, habis ditelpon pacar iya?"

"Hah?"

Aku yang baru usai menyimpan gawai tercengang, Syahib datang dengan wajah jahilnya. Namun, ada sesuatu yang berbeda dari tatapan itu, seolah pertanyaan tadi bukan hadir karena sikap yang ia tunjukkan.

"Seniorku, nanyain kapan balik."

"Jadi, Lita masih mau lama di sini?"

Aku mengendikkan bahu. "Kayaknya nggak lama juga, banyak tanggungjawab yang tertunda."

Syahib tersenyum, kak Jasmine memanggilku sebelum lelaki itu kembali meloloskan kalimat. Aku lupa, mulai malam ini aku tidak tidur di hotel karena sudah saatnya check out. Kak Jasmine menawarkan untuk ke rumah rekannya, ia paham aku yang tidak mudah berbaur pasti mencari tempat istirahat yang tidak ramai.

Syahib
| Kabari ka, kalau sampai. Ada yang mau kubilang.

Aku hanya membaca pesan itu, niatnya akan membalas nanti saat tiba di rumah tujuan. Kak Jasmine mengenalkan pemilik kediaman, dia gadis berusia belasan tahun yang dipercaya tinggal sendiri sejak masuk Sekolah Menengah Atas.

Setelah berbasa basi, aku izin masuk ke kamar untuk bersih-bersih sebelum istirahat. Saking lelahnya, aku mudah terlelap ketika sudah bertemu dengan bantal dan selimut. Aku pun tidak menghubungi Syahib, tidak sama sekali sampai dia yang menghadirkan beberapa panggilan tak terjawab di gawai.

---- °• ----

Hukum dalam Rasa [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang