8. Draco's Jealousy

1.2K 117 8
                                    

Harry hampir menyelesaikan makan malamnya, dia meminum jus labunya sampai habis dan bersiap untuk kembali ke kamar, sebelum Ginny datang dan tersenyum ke arahnya. Harry membalas dengan senyuman kikuk.

"Apa aku boleh bergabung?" tanya gadis itu seraya menatap Harry, Ron dan Hermione.

Harry menaikkan alisnya sambil mengangguk berkali-kali. "Yeah, sure." Harry menggeser duduknya, mempersilahkan Ginny untuk duduk disebelahnya.

Hermione yang menangkap kejadian itu pun menatap Ron sambil tersenyum aneh. Ron menatap balik Hermione, dan ikut tersenyum aneh sambil menaik turunkan alisnya.

Ginny tersenyum tidak enak. Niatnya, gadis berambut merah itu hendak duduk disebelah Hermione jika diizinkan, tapi Harry malah lebih dulu menggeser duduknya dan mempersilahkan dirinya untuk duduk disebelah pemuda itu. Meskipun begitu, Ginny tetap duduk disebelah Harry. Jam makan malam masih lumayan lama berakhir, jadi mereka berempat bisa berbincang-bincang sedikit.

——🐍

Blaise menyikut Draco. "Hei, Drake." Draco menoleh dengan malas kearah Blaise, dilihatnya pemuda keturunan Italia itu menunjuk kearah belakang menggunakan dagu.

Draco membalikkan badannya, mencari tahu apa yang Blaise maksud. Draco memicingkan matanya ketika melihat Harry yang memunggunginya di meja Gryffindor, duduk bersama si bungsu Weasley.

Draco menghela napas kasar, kembali membalikkan badannya kearah semula lalu menggidikkan bahu. Blaise mengernyit, tidak biasanya.

Blaise kembali menyikut. "Tidak protes, eh?" tanyanya sambil menaik turunkan alis.

Draco tertawa remeh. Dia menyeringai kepada Blaise. "Aku bukan lagi Draco yang dulu, Blaise. Draco yang menyedihkan, Draco ambisius yang harus mendapatkan apa yang dia inginkan." Dia menirukan gaya meludah. "Tidak lagi."

Mengingat jika dulu dia selalu marah-marah tidak jelas saat melihat Harry bersama wanita atau lelaki lain. Tentu saja tidak dihadapan Harry, teman-temannya akan selalu jadi pelampiasan rasa marahnya.

Blaise kembali mengernyit. "Jadi, kau sudah bukan Draco yang akan melakukan apapun demi mendapatkan Harry Potter?"

Draco tidak menjawab. Pemuda bersurai pirang platina itu tampak tidak ingin menatap Blaise lagi. Pansy yang menyadari itu hanya tertawa kecil, tapi suara tawa Pansy itu tak luput dari pendengaran si pirang. Draco mendelik tajam dengan tatapan bertanya secara bersamaan kepada Pansy.

"Kau yakin bahwa kau sudah bukan Draco yang ambisius?" gadis itu menggidikkan bahu sambil mencibir. "Kalau aku, tentu saja tidak yakin." lalu gadis itu kembali tertawa kecil tanpa menghiraukan tatapan tajam dari Draco.

Benar apa yang dikatakan oleh Pansy, Draco pun tidak yakin jika dia sudah bukan seorang yang ambisius, tapi Draco hanya tidak ingin mengakuinya terus menerus. Draco cemburu melihat Harry duduk bersama gadis Weasley itu, tapi dia tidak ingin terlihat menyedihkan didepan sahabatnya. Dia tidak terima.

Draco menggebrak meja, membuat para Slytherin menoleh kearahnya, sedikitnya dari asrama lain juga sibuk menoleh-noleh dan mencari tahu apa yang terjadi. Draco tidak peduli dengan itu, dia keluar dari barisan meja makan, berjalan dengan pandangan lurus kedepan dengan wajah dingin tanpa menghiraukan desas-desus orang-orang yang melihatnya.

Harry pun tak luput dari kejadian itu, dia sibuk menengokkan kepalanya untuk melihat apa yang terjadi pada Draco. Harry menatapi Ginny, Ron dan Hermione yang ternyata juga sedang melihat kearah Draco.

Harry berdiri dari duduknya. "Emh, aku akan kembali ke kamar." tanpa menunggu jawaban dari sahabatnya, Harry meninggalkan barisan meja makan dengan sedikit tergesa-gesa.

——🐍

"Malfoy!" teriak Harry dengan napas terputus-putus, dirinya lelah mengejar Draco. Meski Draco hanya berjalan dengan langkah panjang, tetap saja Harry tidak bisa mengimbangi langkah Draco hanya dengan berjalan.

Draco tidak menjawab, terlalu enggan hanya untuk memalingkan diri dari pemandangan di luar Hogwarts. Draco masih diam dengan tangan bertumpu pada pagar pembatas di menara astronomi.

"Malf– ah, Draco." Harry semakin mendekati Draco, sedikit kesal karena pemuda didepannya sama sekali tidak menjawab.

Harry menendang kecil kepada kaki Draco. "Kau tidak takut ketahuan karena pergi kesini?" Harry menatap wajah Draco dari samping.

Draco masih enggan memalingkan wajah. "Kau sendiri, tidak takut?"

Harry terdiam, terlihat berpikir sejenak. "Tidak." jawabnya sambil mengusap tengkuk.

Draco mengangguk samar, pandangannya tetap berada di tempat yang sama. Mengabaikan Harry yang sudah tidak tahu akan berucap seperti apa lagi.

"Kau tidak ingin kembali ke kamar?"

"Tidak."

"Ah, baiklah." Harry kembali mengusap tengkuknya, memalingkan wajahnya sebentar lalu memejamkan matanya diiringi helaan napas perlahan.

Harry kembali menatap kearah Draco. Terdiam sejenak, Harry menunduk lalu menendang angin. "Kau–uh.. kau bertengkar dengan sahabatmu?" Harry tahu, dia tidak ada urusannya dengan ini, tapi dia tidak enak dengan keadaan hening yang sangat canggung baginya.

Draco akhirnya menatap ke arah Harry yang masih menunduk sambil menendang angin. "Tidak." jawabnya, singkat sekali.

Harry mengangguk-angguk sambil menatap kakinya. "Kenapa kau berpikir seperti itu?" tanya Draco. Harry mengangkat wajahnya, Draco dan Harry sempat bertemu tatap beberapa saat, hingga akhirnya Harry memutuskan kontak matanya dan kembali menunduk.

"Kau.. Karena kau menggebrak meja di hadapan sahabatmu?" Draco tertawa geli dibuatnya, yang benar saja jika Harry sungguh berpikir seperti itu.

Harry terus menunduk dengan wajah merona. Untungnya dia menunduk dan hari sedang gelap, Draco tidak akan menangkap bahwa ada rona merah di wajahnya.

"Tentu saja tidak. Pikiranmu sungguh konyol."

Harry mengangkat wajahnya dengan alis sepenuhnya menukik tajam. Menatap Draco dengan tatapan tidak suka, Draco menatap balik sambil menyeringai. Lagi, mereka bertatapan, tapi dengan keadaan menjengkelkan.

Merasa jengkel dengan wajah Draco yang menyebalkan ditambah jelek disaat menyeringai, Harry memicingkan mata lalu menendang tulang kering Draco dengan keras. Draco secara reflek memegangi kakinya sambil terus mengaduh.

"Agh. Kenapa kau melakukannya?" Draco terus mengaduh dan meringis, mengusap kakinya yang berdenyut sakit karena tendangan maut Harry.

"Hei, aku hanya menjawab pertanyaanmu sama seperti apa yang aku pikirkan. Bukankah itu pertanyaanmu? Dasar menyebalkan, kau malah mengatai pikiranku konyol."

Draco melirik sekilas kearah Harry, setelahnya kembali mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang masih sakit. Serangan itu tak terduga, jadi rasanya sangat sakit, ditambah lagi yang menyerang adalah seorang Harry Potter.

Harry mengangkat dagunya dengan bangga, merasa menang dari seorang Malfoy yang sangat menyebalkan. Harry membalikkan badannya secara dramatis layaknya Profesor Snape, lalu turun dari menara astronomi, meninggalkan Draco yang masih merutuki nasib sambil mengusap-usap kakinya.

Setelah lima menit sendirian di menara astronomi sambil mengusap kakinya, Draco berdiri, hendak turun dan kembali ke kamar. "Agh. Sialan, aku hanya ingin kembali ke kamar." ringis Draco ketika merasakan sakit pada kakinya.

Draco berjalan tertatih menuruni ratusan anak tangga dari menara astronomi. Setidaknya, tendangan Harry bisa meredakan rasa cemburunya pada Harry dan si gadis Weasley.


To Be Continued.

Aku up, tumben-tumben banget ga up dalam 10 harian, ahahaa

Gatau, maaf banget klo dikit doang di chapter kali ini, soalnya bikinnya pas gabut hehee..

Siapa yang jelesss??? Dracoooo

Makasih ya yang udh bacaa, jangan lupa vomment biar author mkin smangat. Jangan jadi siders, ga baik :)

Goodbyee

bell_malvi
11.40—
Saturday, January 21th



[DRARRY] Your Mate. [DISCONTINUED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang