SEPULUH tahun berlalu sejak kecelakaan yang menewaskan kedua orang tua Karina terjadi. Selama sepuluh tahun, Karina hidup bersama dengan Pamannya, satu-satunya keluarga yang dia miliki.
Sejak kecil Karina tidak pernah bertemu dengan keluarganya yang lain. Sejauh ingatannya hanya ada Ayah, Ibu, dan juga Pamannya. Karina tidak tahu apakah dia memiliki sosok seperti kakek, nenek, sepupu atau pun keponakan karena dia juga tidak pernah sekalipun bertanya. Dia tahu kalau menanyakan tentang hal itu bukanlah hal yang bijaksana. Entah karena alasan apa, Ayah dan Ibunya tidak pernah mau banyak bercerita tentang anggota keluarga yang lain.
Walau hanya memiliki kedua orang tuanya dan seorang Paman yang jarang berkunjung, kehidupan Karina jauh dari kata kesepian. Kedua orang tuanya selalu berusaha membuatnya bahagia dan selalu ada ketika dia membutuhkan. Meski begitu, Karina mengalami kesulitan untuk mengingat jika diminta untuk menjelaskan atau menceritakan secara spesifik. Karena mereka berdua, telah tiada ketika Karina masih sangat belia.
Saat itu hujan turun dengan begitu lebat, langit tertutup oleh gumpalan awan gelap. Paman Brandon berdiri di hadapan Karina, membawa sebuah payung hitam dan memberitahu kabar mengenai kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya.
Bau tanah basah yang begitu khas memenuhi indra penciuman Karina. Dia yang kala itu baru berusia enam tahun menatap orang yang memperkenalkan diri sebagai Pamannya. Karina menatap lekat-lekat Paman Brandon, mencoba menggali ingatannya tentang pria itu. Karena keduanya jarang bertemu, Karina tidak bisa langsung mengenalinya namun secara samar dia ingat bahwa dirinya memang memiliki seorang Paman.
Ekspresi Paman Brandon saat itu tidak akan pernah bisa Karina lupakan. Wajahnya terlihat sangat pucat, matanya begitu merah seolah baru saja menangis, lalu bajunya yang penuh dengan sayatan membuatnya terlihat semakin berantakan.
"Karina, kau tidak perlu takut. Setelah ini, Paman yang akan melindungimu." Katanya kala itu sembari memeluk tubuh kecil Karina, "Paman berjanji." Bisiknya.
Suhu tubuhnya terasa begitu hangat bak cahaya Mentari yang bersinar di pagi hari, membuat Karina merasakan kasih sayang yang berlimpah. Untuk pertama kalinya setelah mendengar kabar kematian kedua orang tuanya, Karina menangis. Air mata yang tadi sempat tertahan kini keluar tanpa hambatan, membasahi setiap jengkal wajahnya.
"Hati-hati, kenapa kamu berlarian seperti itu?" suara Paman Brandon terdengar begitu khawatir.
Sedangkan yang dikhawatirkan terlihat begitu tenang tanpa rasa bersalah, "Aku sudah telat!" sembari menyambar sepotong roti tawar yang ada di meja.
"Walau begitu jangan buru-buru, pelan-pelan saja. Terlambat sedikit bukan masalah kan?" Paman Brandon menaruh piring berisi telur mata sapi yang baru di goreng dan juga daging sapi iris yang telah matang di atas meja.
Wangi telur dan daging yang begitu menggoda membuat air liur Karina terasa seperti akan menetes. Tanpa basi-basi, gadis berumur enam belas tahun itu menaruh telur dan daging sapi iris ke atas roti tawar dan memberinya sedikit saus pedas.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐊𝐀𝐑𝐈𝐍𝐀
FantasySetelah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan, Karina hidup bersama dengan pamannya. Selama sepuluh tahun, sang Paman adalah satu-satunya sosok keluarga yang Karina miliki. Suatu hari Pamannya menghilang secara tiba-tiba dan hanya meninggal...