01. Bunga Gugur
__________
Jakarta, 2024
"Kamu percaya nggak, Dy, kalau kehidupan sebelumnya itu ada?"
Wira sempat memandang pada kelopak bunga yang mengering di dalam pot kaca berisi air──sudah mulai gugur, atau Kadita saja yang kurang mengurusnya dengan baik. Ia kembali mengoceh setelah beberapa saat suasana terbungkus sunyi.
Ketikan pada keyboard seketika berhenti, berganti dengan suara dengusan jenuh ketika Wira mulai beranjak dari tempat duduknya dan memilih untuk sedikit menempel pada Kadita.
"Kalau aku bilang, aku pernah hidup di kehidupan sebelumnya, kamu percaya?" sambungnya, lagi.
Sepasang netranya menatap malas pada pemuda tanggung itu. Setidaknya penampilannya yang rapi tak membuat Kadita tiba-tiba melengos sebab jemu, karena sampai kapanpun Wira juga akan selalu sedap dipandang karena mukanya yang sangat menunjang.
Lagi pula Kadita jelas masih membutuhkan teman seperti Wira yang melek terhadap sejarah klasik untuk kebutuhan risetnya sebagai seorang penulis novel fiksi sejarah.
Salah satu tantangan besar yang Kadita hadapi adalah ketika menemukan asumsi-asumsi berseberangan, itulah kenapa ia membutuhkan rekan yang sepadan untuk dapat membantunya menemukan titik terang.
Dia pada akhirnya melepas kaca matanya dengan gusar. "Kalau kamu percaya, ya udah. Tapi buat aku, nope. Nggak ada yang namanya kehidupan sebelumnya, reinkarnasi, or whatever that."
"While, déjà vu?" Wira belum selesai. Ia baru saja akan membangunkan singa tidur karena sebentar lagi temper Kadita benar-benar naik.
Wira meletakkan buku tebalnya di atas meja selebar sepuluh jengkal tangannya. "Suatu tempat yang belum pernah kamu kunjungi, tapi kamu kayak pernah ada di sana entah kapan. Atau, sesuatu yang rasanya asing, cuma kelihatan familier."
Benar bila orang bekata jika Wira terkadang aneh. Karena, lihat, ia bahkan mengatakan hal-hal yang Kadita benar-benar tak mengerti.
"Nggak sama sekali." bantah Kadita. "Persepsi yang terbagi bikin otakmu terganggu. Kalau pemandangan pertama itu gak kamu lihat dengan baik, mungkin kamu bakal berasumsi kalau kamu belum pernah lihat pemandangan itu. Atau, otakmu lagi kena kerusakan listrik singkat. Atau lagi, ada memori masa kecilmu yang ketinggalan. Orang-orang pengidap skizofernia, kecemasan, epilepsi, demensia vascular ... sering kena déjà vu. Alias, Agnigar, ingatan masa lalu itu nggak ada. Déjà vu mungkin aja cuma gejala dari penyakit."
Wira menyerah. Berdebat dengan Kadita tak akan ada habisnya. Gadis itu terlalu logis bagi ukuran seorang penulis fiksi. "Well ... terserah." Ia kembali menghadapi tulisan-tulisan sialan pada buku tebalnya. "Tapi, jangan anggap aku kena skizofernia atau punya gejala demensia habis ini gara-gara aku ngomong kalau aku pernah hidup di kehidupan sebelumnya."
"Ya lagian kamu freak banget, ngapain tiba-tiba bahas begituan." Kadita memrotes setelah pekerjaannya selesai. Dia menutup laptop seiringan dengan lagunya yang terjeda.
Kadita tak ingat persis kapan pertama kali Wira memanggilnya Kady. Namun, Kadita menyebut Wira dengan nama tengah pria itu sudah sejak bangku sekolah dasar. Keduanya sudah sangat sering dituding memiliki hubungan khusus, padahal nihil. Ajaibnya, dia dan Wira juga tak pernah mengalami friendzone.
KAMU SEDANG MEMBACA
ASMARALOKA (On Hold)
Romance༻─Ꭺ᥉ɾᥲɾ Ᏼᥙᥲᥒᥲ III─༺ Kisah cinta penuh lara antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka Citraresmi adalah sejarah yang mengabu. Bila benar-benar bertemu kembali pada kehidupan selanjutnya, apakah takdir akan menorehkan tinta di atas perkamen baru? Namun, ba...