9 ETERNITY • 29

128 50 0
                                        

Dewa melintasi koridor rumah sakit dengan langkah yang berat. Dari jauh, matanya tertuju pada ruangan yang bertuliskan ICU. Rasa rindu yang mendalam menghantui pikirannya, mengingat hari-hari yang telah berlalu. "Gimana, ya?" gumamnya, suara penuh harap.

"Udah baikan?" tanyanya pelan, memperhatikan pintu yang tertutup rapat itu.

"Gue kangen Jal," ucapnya lagi, nada suaranya penuh kerinduan. Nikolas, yang berdiri di sampingnya, merasakan perubahan dalam diri Dewa. Ia tahu bahwa perasaan Dewa terhadap Hazel sangat tulus, jauh dari sekadar kata-kata.

"Nggak mau nyamperin lo?" celetuk Nikolas, mencoba menggugah semangat Dewa.

"Gue takut, Las," jawab Dewa, mengalihkan pandangannya ke lantai.

"Kenapa? Gue merasa nggak berguna banget. Gue udah nuduh dia yang nggak-nggak," Dewa menghela napas, mengepalkan tangannya.

"Apa masih pantes buat gue ketemu dia lagi?" tanyanya, suaranya penuh keraguan.

Nikolas menepuk pundak Dewa, memberikan dorongan. "Lo cowok, kan?"

"Kalo lo punya otak, gue rasa pertanyaan itu nggak usah dilontarin," balas Nikolas, sinis. Dewa menghembuskan napasnya dengan kesal, matanya menyapu sekeliling mencari tempat duduk. Sudah cukup lama dia berdiri, dan rasa lelah mulai merayap. "Gue bener-bener nggak siap ketemu dia," pikirnya, merasakan keraguan menyelimuti hatinya.

"Lo mikir aja, udah hampir seminggu gue nggak ketemu atau ngeliat dia. Ini rasanya kayak siksaan, Las!" keluh Dewa, berlebihan memang, tapi itu yang dia rasakan. Setiap detik tanpa melihat Hazel terasa seperti seabad.

"Lo kebanyakan omong. Mending lo samperin aja, mumpung tadi gue beli buah segar," Las menjawab dengan nada yang tegas, seolah-olah tidak ada pilihan lain. Dewa tahu, sahabatnya tidak akan membiarkannya mundur.

Dengan satu tarikan napas dalam, Dewa mencoba mengumpulkan keberanian. Saat dia sampai di depan ruangan itu, jantungnya berdebar kencang. Namun, yang dia lihat hanyalah brankar kosong. "Jangan bilang lo salah informasi lagi, Las. Gue bener-bener bakal bunuh lo kalau ini semua nggak bener!" ujarnya, suara penuh tekanan.

"Sttt, lo harus diem dulu," Nikolas membisikan, berusaha menenangkan Dewa.

"Lo liat kan? Itu maknye Hazel?" Dewa bertanya, matanya tak lepas dari sosok yang dia kenali.

"Bener nggak sih?" Dewa merasa campur aduk antara harapan dan ketakutan.

Dewa yang ditanya hanya mengangguk, berlari menghampiri Helen dengan penuh harapan.

"Tante, Assalamu'alaikum," ucap Dewa sambil tersenyum, berharap bisa mendapatkan perhatian Helen.

"Permisi, tan–"

Namun, Dewa tertegun saat Helen hanya melewatinya begitu saja, seakan tak melihat keberadaannya. Meski hatinya sedikit terluka, dia tak gentar. Dengan tekad yang kuat, ia mengikuti Helen dari belakang, berusaha menanyakan banyak hal. "Maaf sebelumnya, kalau ganggu, Tante."

"Saya boleh ketemu dengan Hazel?" tanyanya, suaranya penuh harap.

"Keadaannya gimana, Tan?" Dewa melanjutkan, berusaha mencari informasi lebih lanjut.

"Maaf baru nyamperin," tambahnya, merasa sedikit bersalah.

"Ini sedikit makanan buat Hazel tan."

Tiba-tiba, Helen berteriak, suaranya menggema di udara. "Hazel nggak butuh kamu di sini!"

Dewa terkejut, namun ia tetap berusaha tenang. "Saya pengen tau keadaan Hazel, dia baik-baik aja tante?"

"Pergi!" bentak Helen dengan tatapan tajam yang sulit untuk diartikan, seolah-olah dia melindungi sesuatu yang sangat berharga.

9 Eternity || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang