tiga

75 17 8
                                    

Mengerjakan tugas saja tidak bisa fokus karena momen dimana saat ia bisa mendengarkan suara dan melihat Jihoon dengan banyak terus teringat di memori otaknya. Senyuman yang tampak di wajah tampan Jihoon tidak mudah dapat ia lupakan karena bagai zat aditif yang begitu candu. Setiap sel otaknya memprogram begitu banyak ingatan mengenai Jihoon, selalu berhasil membuat Asahi lupa akan kegiatan yang sedang berlangsung ia lakukan. Alhasil tugasnya terlantar tidak tersentuh sama sekali.

Mungkin jika ada orang di sekitarnya saat itu bisa menatap Asahi penuh heran karena wajah mungil Asahi memerah seperti tomat dan jangan lupakan senyumannya bak orang gila. Untung saja Asahi sedang berada di kamarnya, sehingga jauh dari jangkauan manusia yang selalu penasaran akan urusan orang lain.

"Kau bisa hubungi aku di nomor ini. Kalau begitu aku duluan, Asahi!"

Asahi lupa akan hal itu. Bukankah menjadi kesempatan yang sangat besar jika Asahi mengabari Jihoon? Karena bisa saja dari sana menjadi sebuah hal berkelanjutan dirinya bisa berkomunikasi dan dekat dengan Jihoon. Ah, tapi apakah Jihoon masih mengingat dirinya? Sudah lewat dua hari semenjak insiden memalukan itu. Lukanya juga sudah membaik walau warna lebamnya masih terlihat di kulit putihnya.

Salahnya Asahi tidak langsung mengabari Jihoon atau sekedar mengirimkan pesan terima kasih karena sudah menemaninya, menawari diri untuk mengantarkan Asahi pulang, dan membelikannya roti dan minuman. Tidak lupa karena Jihoon perhatian dan tampak khawatir. Atau mungkin lebih tepatnya lelaki itu merasa sangat bersalah. Tapi masih bisa kan kalau Asahi menyimpan nomor Jihoon tanpa menghubunginya?

Buru-buru Asahi beranjak dari kursi untuk mengambil kertas di saku celana yang ia kenakan tempo lalu. Ia berjalan menuju pintu kamar demi mencari celana diantara pakaian yang digantung di balik pintu. Namun, celana itu tidak ada di sana. Tidak bohong kalau saat ini rasa panik dan takut sudah menguasai tubuh serta pikirannya. Saat itu juga Asahi mencari celana jeans hitam di segala penjuru kamar. Dimulai dari kamar mandi, hingga tempat tumpukan baju kotor dekat lemari pakaian.

"Jangan bilang..."

Asahi segera keluar dari kamar. Ia berlari menuruni tangga tanpa ingat ia terjatuh dua hari yang lalu. Bahkan melalui ayahnya dan Yoshi yang sempat heran karena Asahi berlari begitu cepat tanpa menghiraukan panggilan nama. Namun hal itu justru mengundang perhatian sang ibu yang sedang mencuci piring di dapur untuk menyusul Asahi yang berlari ke arah sudut rumah.

"Kamu cari apa, nak?"

"Ibu lihat celana jeans warna hitam punyaku tidak?" Tanya Asahi sambil sibuk mencari celana di dalam tumpukan baju kotor.

"Yang digantung di pintu? Sudah ibu cuci. Celanamu itu kotor."

"Kok ibu tidak tanya aku dulu? Celananya dimana bu?"

"Ibu jemur. Ada apa sih, Hikun?"

Asahi berjalan cepat menuju halaman belakang tempat biasa sang ibu menjemur pakaian. Ia dapat melihat celananya menggantung. Tanpa alas kaki, Asahi berlari sambil menahan angin malam yang begitu dingin saat bertabrakan dengan kulitnya. Tapi tak apa, demi nomor pujaan hatinya akan ia lakukan.

Seulas senyum tampak di wajah Asahi. Celananya tidak basah, melainkan sudah kering menandakan kalau ada hal baik yang sudah siap Asahi terima. Karena ia yakin, malam ini, ia resmi menyimpam nomor Jihoon di ponselnya.

Tangan kecilnya merogoh saku celana. Terasa ada bubuk kertas yang tidak asing bersentuhan dengan kulit tangan. Perasaan pesimis dimana hal baik itu akan menjadi hal buruk muncul setelah ia melihat keadaan lipatan kertas di telapak tangan. Buru-buru Asahi buka lipatan tersebut. Sedikit ada harapan kalau keadaan lipatan yang sudah berantakan itu masih meninggalkan kabar baik walau kemungkinannya sangat kecil.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

listen to my why - jisahiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang