Pintu depan rumah telah terbuka lebar,beberapa orang juga berbaris diluar pagar. Badai lari, firasat nya tak enak. Suara tangisan lirih datang dari dapur,saat badai menghampiri sosok adiknya tengah menangis dengan beberapa lebam merah dimuka dan badan nya
"Ade,udah udah kakak disini. Kakak bawa ade ke puskesmas ya." Sembari badai mengendong adiknya ke puskesmas.
Jarak puskesmas cukup jauh sekitar 2 km,tapi rasa khawatir badai mengalahkan rasa lelahnya. Sesampainya di puskesmas,badai langsung meminta bidan untuk melakukan pertolongan pertama,sosok adiknya yang memiliki asma sulit untuk menghirup oksigen seolah lehernya telah dicekik olah sang malaikat maut.
Beberapa menit setelah bidan keluar dari ruang pemeriksaan,badai menghampiri.
"Bu langit gak papa kan bu? Saya boleh cek ke ruangan?" Sekujur badannya gemetar antara takut atau kelelahan.
"Tenang dulu de, saya tau kamu khawatir tapi kalau dengan keadaan kamu sekarang,adik mu malah juga panik melihat mu. Saran saya kamu ke luar untuk menenangkan diri,ini saya ada air minum. Buat adik kamu pasti gak papa."
Seteguk air ia telan, seolah air itu tak bisa redakan kekhawatiran nya terhadap adiknya.
"Halo de,kamu kenapa? Kok kaya khawatir gitu? Ada yang bisa saya bantu?"
Dari arah parkiran pria dengan jas lab mendekat, lalu duduk di samping Badai.
"Are you okey?"
"Emm, gak juga pak."
"Heh? Pak? Setua itu ya saya?"
"Ya lagian, bapak tiba tiba langsung tanya saya kenapa padahal belum kenal."
"Oh ya, maaf ke tidak sopan saya. Saya alam,panggil saja mas alam."
"Mas alam?" Badai melihat dari atas sampe bawah,dari penampilannya mencerminkan sosok orang yang memiliki gelar "seperti nya anda seorang dokter."
"Ya seperti itu lah,kebetulan puskesmas ini adalah milik saya."
Rasa kekhawatiran badai mulai mereda, saat mengobrol dengan dokter alam.
"Badai? Badai! Ah" dari arah pintu masuk, seorang bidan menghampiri badai dan dokter alam "selamat siang dokter alam, badai, adik mu sudah siuman."
Sontak badai berjalan cepat untuk menemui adiknya.
"De, ada yang sakit gak?"
"Hehehe gak papa ka, langit kan anak kuat."
Tanpa sepengetahuan badai, air matanya turun beranak sungai, entah tangisan bahagia karena adiknya sosok yang kuat,bahkan jadi alasannya untuk tetap ada didunia , atau tangisan kesedihan karena adiknya yang masih sekecil itu harus dipaksa kuat oleh dunia.
"Permisi badai, tolong ke ruangan dokter alam sebentar,ada yang mau beliau bicarakan."
"Baik Bu, terimakasih sebelumnya."
Badai sempat mengusap pipi adiknya,setelah itu dia beranjak pergi.
Didalam ruangan dokter alam, seperti sedang berbicara dengan seseorang,tapi ketika badai masuk tak ada seorang mu yang menemani dokter alam.
"Yo badai, udah ketemu adik mu?"
"Sudah dok, buat biaya pengobatannya kami punya BPJS tapi saya lupa buat bawa, saya izin mengambil nya terlebih dahulu."
"Wah wah, santai saja, itu bisa besok saja. Ada yang sama saya bicarakan."
"Tentang langit? Atau tentang apa dok?"
"Ya iya lah tentang langit, kebetulan saya ini psikolog, saat saya cek hasil pemeriksaan dari rekan saya. Saya hanya ingin memastikan, boleh kah langit besok dibawa ke RSUD XXXXXXXXX ?"
"Menang langit kenapa? Dia punya asma,kenapa harus diperiksa ke psikolog?"
"Saya hanya ingin memastikan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Badai Milik Si Badai
Teen FictionGavariel Badai, Manusia dengan miliyaran cara membahagiakan orang lain