Dibully

486 45 10
                                    

Pukul 16.26 WIB Ningning baru sampai dirumah. Begitu masuk sudah ada papa dan mama nya yang bersantai sembari menonton televisi dan menikmati makanan ringan.

"Adek pulang..." Ningning langsung saja menjatuhkan tubuhnya diantara kedua orang tuanya. Membuat Kai terkekeh pelan sembari membersihkan wajah penuh keringat anaknya dengan tisu.

"Adek pulangnya kok sore banget? Mama pernah bilang apa? Kalau udah lebih dari jam 16.00 adek belum keluar dari sekolah, minta jemput papa atau mama!" ujar Jennie dengan wajah tertekuk.

Tentu saja dia tidak ikhlas jika anak semata wayangnya ini kelelahan. Apalagi pulang-pulang dengan banyak keringat kayak gini. Pengen Jennie kekepin aja anaknya dirumah, nggak boleh keluar.

"Kan perjalanan dari sekolah ke rumah jauh ma, aku juga naik taksi. Nggak bakalan kepanasan atau kena debu-debu jalanan."
Ningning menatap mama nya dengan wajah merengut.

"Ya ya ya. Mama siapin air hangat dulu buat adek, keburu malam." Jennie beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke kamar anaknya.

Setelah mamanya menghilang dari balik pintu, Ningning mencibir kelakuan mama nya yang terkadang sangat-sangat tidak ramah.

"Mama kamu lagi ada firasat tuh. Biasanya kalau mama protektif ke kamu, pasti ada apa-apanya. Adek nggak menyembunyikan sesuatu kan?" ucap Kai seraya membereskan tas dan sepatu sekolah milik anaknya.

Ningning terdiam sebentar, akhirnya hanya menanggapi ucapan papa nya dengan senyuman tipis.

Setelah makan malam, Ningning langsung berpamitan untuk tidur pada kedua orang tuanya.
Meninggalkan Jennie dan Kai yang duduk berdua di ruang keluarga.

"Kamu jangan terlalu mengekang adek, kasihan. Lagian ada apa sih? Biasanya juga kalau adek naik taksi nggak papa?" Kai membuka obrolan karena sedari tadi istrinya itu memasang raut wajah tidak mengenakan.

"Ini cuma perasaan ku aja yang nggak beres atau emang ada apa-apa sama adek disekolah. Minggu kemarin pas aku sisirin rambut nya itu tiba-tiba rontok kan, rontoknya itu sedikit. Tapi pas aku cek lagi itu bukan kayak rontok gitu loh, tapi kayak bekas di jambak. Sampai kayak ada beberapa bagian yang nggak ada rambutnya.
Adek aku minta jujur kenapa malah cuma jawab katanya rontok.

Pas dia mau tidur, perutnya mau aku olesin minyak telon kan biar anget. Aku lihat kayak memar di perutnya sebelah kiri, mana habis itu langsung buru-buru ditutupin sama adek. Belum lagi tiba-tiba kaki nya keseleo, tangannya luka-luka kecil kayak kena pisau. Siapa yang nggak khawatir?"

Jennie mengeluarkan unek-unek yang disimpannya dengan tangan mengepal dan wajah penuh emosi. Kai yang mendengarnya mendadak merasa tidak tenang.

Seingatnya, dia sudah memberitahu semua guru disana untuk memperhatikan kondisi anaknya disekolah. Jika apa yang dia pikirkan benar, apakah itu berarti semua guru disana sudah siap untuk menjadi pengangguran abadi?

"Kamu nggak mau ngelakuin sesuatu gitu?" tanya Jennie. Walaupun sebenarnya dari raut wajah suaminya, dia sudah tahu apa yang akan suaminya itu perbuat.

"Tenang. Sekolah itu milik ayah. Jika ayah tahu kalau cucu satu-satunya diperlakukan tidak baik disana, ayah pasti akan bertindak lebih kejam daripada aku sendiri." Jawab Kai.

"Aku hanya merasa khawatir, aku sendiri juga belum tahu adek beneran terluka disekolah atau bukan. Jadi, cari tahu dulu! Aku akan mengawasi nya dengan Lisa." Jennie mengecup pipi suaminya sebelum pergi ke kamar anaknya.

Melihat istrinya yang sudah pergi dari sana. Kai mengambil handphonenya dan menelpon ayahnya.

'Halo nak.'

Happy Family (02)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang