1

21 7 1
                                    

     Kelas masih saja sunyi. Udara pagi meresap melalui celah-celah jendela. Seorang mahasiswi yang masih terkantuk-kantuk menduduki bangku paling depan. Ia mengambil posisi didepan meja dosen seperti biasanya. Kalau ada tempat paling nyaman di bumi ini selain daripada alam, toko buku dan kedai kopi, maka tempat itu adalah bangku paling depan. Bangku yang tidak berani ditempati oleh siapapun, kecuali oleh Renjana.
Renjana beranggapan bahwa, jika ia duduk di bangku depan dan berada dalam jangkauan dosen akan membuatnya lebih mudah menerima materi kuliah.

     Hal itu sangat bertolak belakang dengan teman-teman sekelasnya yang selalu memulai kuliah dari barisan kedua. Sekilas Kasih nampak terasingkan dari pergaulan. Akan tetapi baginya pergaulan yang paling sehat bukan tentang bersama-sama tetapi meracuni. Pergaulan sehat baginya adalah pergaulan yang sewajarnya dan saling mengasihi dalam keberlangsungannya.
Secara mengejutkan seorang laki-laki datang dan memberikan sebuah buku yang cukup tebal. “Ini pesanan kamu” ujar lelaki yang penampilannya sedikit urakan. “Makasih, Bi” Renjana melirih.
“Pasti begadang lagi, ya?” tanya laki-laki itu. “Hmm… begitulah adanya, Bi” Suara Renjana semakin rendah, seakan mau habis. “Abi! Sebat dulu, kuy!”  Seseorang dengan suara lantang memanggil laki-laki yang sedang bersama Renjana itu. “Nanti kita pulang bareng ya, Re!” ujar laki-laki yang sedang membersamai Renjana. Dengan nada yang sedikit mengancam Renjana memegang lengan laki-laki yang hendak meninggalkannya seraya berkata “Kalau kamu ngerokok aku pulang sendiri aja!” Ancaman Renjana seolah nyata. “Huft…Oke, hari ini aku gak ngerokok banyak-banyak” jawab laki-laki bernama Abi. “Mau sedikit atau banyak, itu tetap merokok Abimanyu Satria Putra!” ketus Renjana. “Baiklah, Renjana Destiana. Saya Abimanyu Satria Putra tidak akan merokok untuk hari ini” Tegas Abi. “Terserah!” Renjana naik pitam.

     Sekilas nampak seperti kekanak-kanakan memang hubungan antara dua sahabat ini. Akan tetapi itulah cara mereka dalam menjalani persahabatannya. Kadang melebihi orang yang sedang kasmaran kalau sedang akur. Kadang kala seperti hendak berceraiberai jika sedang tak akur. Apapun yang terjadi persahabatan mereka tetap teguh dan utuh.

     Renjana masih terlarut dalam kantuknya. Ia ingin bercerita tapi tak tahu harus kepada siapa ia mengadukan keluh kesahnya selain kepada Abi sahabatnya. Bukan Renjana tidak percaya terhadap sahabat-sahabatnya yang lain. Akan tetapi untuk berbagi rahasia dan kisah terumit ia sudah memiliki tempatnya. Persahabatan antara Abi dan Renjana sudah dimulai sejak mereka kecil dan bertahan hingga mengenyam bangku kuliah, sekalipun mereka pernah berbeda sekolah di jenjang SMP dan SMA, bahkan tempat tinggal yang dulunya berdekatan harus terpisah begitu jauhnya. Alasannya adalah pekerjaan ayah Renjana sebagai pegawai negeri yang dipindah tugaskan.

     Hal itu membuat banyak hal terjadi baik dalam hidup Abi ataupun Renjana. Sampai-sampai jika diceritakan semuanya mungkin akan menjadi sebuah rangkaian buku dengan halaman yang tebal-tebal. Sudah tak terhitung berapa lama jam yang dihabiskan oleh Renjana dan Abi melalui telepon. Tak terhitung juga berapa kata yang Renjana dan Abi habiskan untuk bertukar pesan singkat yang isinya panjang. Terlepas dari semua itu Renjana dan Abi ditakdirkan kembali untuk bertemu di kampus yang sama bahkan fakultas dan jurusan yang sama, hanya saja kelas mereka berbeda. Renjana masuk kelas pagi, sementara Abi masuk kelas siang. Sehingga Abi bisa bermalas-malasan terlebih dahulu sebelum kuliah. Sedangkan Renjana selalu bertarung dengan fajar dan alarm.

     Berada di fakultas dan jurusan yang kerap dipandang sebelah mata oleh orang-orang tak membuat Renjana berkecil hati. Fakultas Sastra dengan jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia seakan-akan tidak memiliki masa depan yang cerah. Berbeda dengan fakultas lain seperti Fakultas Hukum, Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, Fakultas Teknik dan lain sebagainya yang sudah memiliki batu loncatan setelah lulus, atau bahakan jurusan Bahasa dan Sastra lainnya seperti jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Arab, Rusia dan China yang setidak-tidaknya memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi ke negara asal bahasa dan sastra itu dilahirkan. Bagi Renjana masa depan adalah misteri yang penuh dengan kejutan, kadang bisa sesuai harapan, kadang tidak memenuhi harapan dan tak jarang melebihi apa yang diharapkan.

     Kelas mulai ramai dan gaduh. Orang-orang berdatangan dengan membawa banyak energi dan cerita dari hari kemarin. Ada yang bercakap-cakap membicarakan organisasi kampus, ada yang membahas drama Korea, ada yang membahas isu dan skandal yang baru saja terjadi di dunia hiburan tanah air, ada yang sarapan di dalam kelas karena tidak sempat sarapan di kamar kosnya, ada yang bertingkah seperti anak-anak dan masih banyak lagi kegiatan-kegiatan yang sudah biasa terjadi di kelas pagi. Renjana sudah biasa dan tak acuh dengan kegaduhan itu. Pernah sekali waktu ia berusaha bergabung dengan salah satu kegaduhan itu, namun sialnya dia diabaikan dan tidak dianggap sebagai bagian dari mereka. Hal itu membuat Renjana menarik diri dari pergaulan dan lebih senang menikmati segala sesuatu sendirian. Sekalipun ia harus mati dalam kesendiran yang ia buat sendiri.

“Selamat Pagi teman-teman mahasiswa!” suara perempuan setengah baya yang sangat khas memecah kegaduhan. Semuanya mendadak sunyi. Renjana menyiapkan buku catatan dan berusaha mengusir kantuk. Ini dia pengajar paling ditakuti seluruh mahasiswa di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Dr. Linda Rahayu. Pengajar mata kuliah “Drama dan Teater” merangkap pengajar mata kuliah “Sastra Bandingan” merangkap lagi menjadi Wakil Dekan Bagian Manajemen Akademik. Ia selalu menatap sesuatu dengan sorotan tajamnya yang khas. Beberapa mahasiswa yang pernah berurusan dengannya tidak pernah ingin berurusan lagi.
     Beberapa mahasiswa memilih menghindari masalah dengannya. Lain halnya dengan Renjana. Ia tidak pernah mengotak-ngotakan suatu hal pun. Katakanlah mengotak-ngotakan dosen yang mengajarnya. Baginya siapapun yang mengajar tidak akan menjadi masalah dan bukan suatu hal yang harus ditakuti ataupun diistimewakan. Bagi Renjana tidak ada dosen baik atau dosen jahat. Semua dosen mengajarkan hal yang benar dalam akademik.

     Bu Linda, sapan akrab Dr. Linda memulai kuliah. “Baik hari ini kita akan…” belum sempat Bu Linda menyampaikan pengantar kuliah, tatapan tajamnya mengunci Renjana yang berada di hadapannya. “Renjana apa anda bisa mengikuti kuliah saya hari ini?” tanya Bu Linda dengan nada khas yang sedikit sinis dan meninggi. “Saya ragu bu, saya sedang tidak baik-baik saja” jawab Renjana lemah.

“Saya lihat sejauh ini anda belum mengambil absen satukalipun dalam kuliah saya, ada baiknya anda mengambilnya hari ini” Bu Linda menyarankan. Memang jika dibandingkan dengan mahasiswa yang lain Renjana tergolong salah satu mahasiswa yang rajin. Ia tidak pernah mengambil jatah absen jikalau hanya pusing, pilek atau batuk. Akan tetapi kali ini lain ceritanya. “Renjana?” tegur Bu Linda memecah lamunan Renjana. “Baik, bu. Kalau begitu saya ambil absen hari ini. Permisi” Renjana bergegas membereskan catatannya. “Jangan lupa periksakan kesehatan anda segera” Bu Linda menyarankan. “Baik, bu” pungkas Renjana seraya meninggalkan ruang kelas. Dari kejauhan sayup terdengar Bu Linda menyarankan mahasiswanya untuk menjaga kesehatan karena dalam beberapa minggu lagi Ujian Akhir Semester (UAS) akan dilaksanakan.

     Langkah Renjana mulai berat saat ia hendak meninggalkan ruang kelas. Pandangannya mulai kabur. Jantungnya berdegup kencang. Langkah kakinya mulai hampa dan seketika semuanya gelap. Renjana terjatuh tepat di dekat pintu keluar ruangan kelas.

RenjanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang