Angin dingin sedikit berkurang hari ini, percik-percik merah kekuningan mulai muncul pada daun maple diluar pekarangan rumah, juga sirupnya yang jatuh pada pancake yang masih panas sebab baru saja diangkat dari Teflon warna biru punya ibu. Waktu terasa maju dan mundur secara bersamaan, musim berganti dengan tanpa sepengetahuan perapian yang masih menyala. Saya duduk berdampingan dengan setumpuk buku dan kertas-kertas yang semakin hari semakin banyak melahirkan anak baru.
Berita gossip yang muncul kepermukaan mengalahkan tulisan saya yang baru saja hendak akan diterima oleh editor penerbit langganan. Teh bunga melati sudah habis sedari tadi, kantung nya sudah bertengger dibawah mata, kantung teh dan kantung mata adalah symbiosis mutualisme yang berhasil saya syukuri. Dan aroma melatinya yang selalu saya suka, ingatan rumah jadi semakin jelas tapi tidak ada sedikit keinginan untuk pulang. Kantung-kantung teh hasil oleh-oleh dari teman yang habis pulang kampung untuk bertemu sanak-saudara.
Dinding perkamen yang tidak cocok dengan lantai marmer ini terasa tetap dingin walau dibawah penghangat ruang, harus kah ku ganti saja dengan alas kayu seperti rumah Nobita. Bunga dalam vas hasil daur ulang tempat minum baru saja saya ganti dengan yang baru, bunga tulip warna orange. Harus kah saya beli semua bibit tulip untuk mencoba bercocok tanam sendiri. Tidak, terlalu sulit.
Rambut warna mahogany telah luntur menyisakan keungungan seperti bekas luka yang gagal mengeluarkan darah, mungkin lusa saya harus pergi ke penata rambut terdekat untuk kembali memilih warna sesuai dengan tema. Sedang hari ini saya akan pergi untuk membantu teman yang baru saja membuka toko roti pinggir jalan yang biaya sewanya setinggi langit, tapi beruntungnya laris dalam pembukaan pertama. Isi nya kue sus dengan berbagai macam varian, tapi yang paling saya suka hanya yang plain. Susu tanpa rasa, mie instant goreng, yogurt utuh, cokies cokelat buatan tetangga sebelah rumah adalah makanan dan minuman yang jadi keseharian juga rasa yang tidak pernah berubah dalam kehidupan yang selalu nomaden ini.
Saya lihat jam diatas rak buku sudah pukul 10, bergegas melewati pintu dan siap-siap pergi untuk beli persediaan alat tulis yang habis, juga mampir untuk memberikan berkas kepada kantor majalah ternama di kota ini. Pancake sudah habis, segala cucian kotor sudah selesai dari penatu. Hari ini pakai mantel hitam dan boots sekenanya dari yang ada dijangkauan tangan. Seperti sedang berduka tapi bukan tampilan gereja.
Jalan kaki jadi bukan suatu yang menyebalkan Ketika saya sudah sampai disini, jarang sekali merasa tidak nyaman atau jadi merasa terburu-buru sampai tujuan karena pasang mata yang menatap hanya karena terlihat menyedihkan jalan sendirian diantara hiruk pikuk kendaraan lalu Lalang. Disini saya bisa leluasa menatap sekeliling dengan berbagai ingatan menarik yang telah saya lalui. Saya senang jalan-jalan menyusuri kota sendirian terlebih di pasar natal yang tidak pernah absen mencuri perhatian. Saya suka lihat lampu-lampu juga meresapi butiran salju diwajah yang dulu hanya bisa dilihat dari film-film luar yang suka ditanyangkan setiap libur lebaran.
Setelah memasukan segala keperluan yang sudah saya beli ke dalam tas belanja yang saya bawa dari rumah, kaki mengarahkan saya untuk pergi sebentar ke salah-satu usaha milik seorangan pendatang jauh yang saya anggap sudah seperti kerabat sendiri. Namanya pak peerawat, orang Thailand yang menjual makanan india disini, di little India. Ia sangat baik saat pertama kali saya menginjakan kaki disini, tiap ada kesempatan dan tidak punya apa-apa untuk masuk kedalam perut, pak pee akan menyadari wajah saya yang menyedihkan kala itu. Sempat ikut bekerja pada kedai yang sekarang ini telah berubah menjadi restaurant tercantik yang selalu ingin saya kunjungi setiap ada kesempatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
IT ENDS
General Fictionkemanakah orang-orang yang sedang patah hati untuk pulang dan berdoa?