Ku langkahkan kakiku keluar dari area kampus saat mataku menemukan Helena berdiri di depan ruang data dengan jaket denim yang bertengger di bahunya.
"Hei.." Helena membawaku ke dalam pelukan. Dengan sengaja ku tahan lehernya yang membuatnya terpaksa harus menahan pinggangku dan menaruh dagunya di bahu kecilku.
"Aku kangen." Kataku pelan, dia diam sejenak.
"Aku juga." Ku rasakan pelukannya pada pinggangku merenggang, bersamaan dengan lubang-lubang hidungku yang menghirup aroma tubuhnya.
"Kamu bau rokok." Kataku. Dia mengangguk samar.
"Makanya lepas." Tuturnya.
"Jangan.." aku semakin menahan lehernya, sedangkan tangannya terasa sudah melepaskan pelukannya di pinggangku.
"Mau sampe kapan?" Tanyanya. Terdengar jenuh.
"Apanya?" Tanyaku. Dia mengusak leherku dengan gemas menggunakan hidungnya.
Untung saja area ruang data sudah sepi, sehingga tidak akan ada yang mengetahui bahwa kami sedang berpelukan dengan mesra seperti ini.
"Kita." Katanya, kemudian mengusak kepala bagian belakangku.
"Kita?" Bingung, aku bertanya balik.
"Mau sampe kapan kita bertahan kayak gini?"
Aku tertawa kecil. "Maksud kamu pelukannya?"
"Bukan." Aku terkejut, langsung ku coba untuk melepas pelukanku di lehernya. Namun sekarang tangan Helena lah yang menahan punggungku agar pelukan kami tidak terlepas.
"Diem." Katanya dalam-dalam.
Aku mulai merinding.
"M-maksud kamu bertahan kayak gini tuh apa?" Tanyaku. Helena kembali menaruh dagunya di pundak kecilku.
"Hubungan kita. Lo nggak ca— sorry, maksudnya, kamu nggak capek? Aku sih capek." Katanya. Aku bingung.
Selama ini hubungan kami baik-baik saja. Helena memang cuek dan wataknya bodo amatan, tapi tidak pernah kami bertengkar entah tentang apapun itu.
"Aku ada salah?" Tanyaku, berusaha untuk melepaskan pelukan kami yang masih dengan kuat ia tahan.
"Nggak. Gue yang banyak salah— maksudnya aku."
Dadaku semakin terasa tidak nyaman, cara bicara Helena jadi sedikit berubah dari biasanya.
"Salah? Kan semuanya udah aku maafin, lupain aja. Aku nggak apa-apa kok!" Kataku.
Sebenarnya aku berbohong tentang ketidak apa-apaan itu. Tapi, aku benar-benar sudah memaafkan semuanya.
Semua kesalahan yang Helena perbuat, benar-benar sudah ku maafkan. Mulai dari dirinya yang ketahuan tidur bersama perempuan lain sampai yang katanya ketahuan membobol berangkas uang kelab malam di ujung kota.
Semuanya. Sudah. Ku maafkan.
"Kamu bohong, itu yang bikin aku capek. Nggak usah nahan aku kayak gini."
Aku menarik nafas panjang, dadaku terasa semakin sesak.
Aku tidak siap melepaskannya, tidak siap juga mengakhiri hubungan ini. Aku betul-betul mencintainya.
"Bohong gimana?" Tanyaku.
"Kamu selalu bilang nggak apa-apa, padahal sebenernya kamu capek sama aku." Katanya. Aku menggeleng. Sudah terbayang akan bagaimana hubungan kami bila ku biarkan dirinya mengetahui semuanya.
"Aku nggak mau putus. Aku beneran nggak apa-apa.." tahanku, terdengar begitu menyedihkan.
Kemudian dia diam, wajahnya ia benamkan di leherku begitu ia mendengar suaraku yang bergoyang, menahan tangis.
"Yaudah. Ayo pulang."
Dengan manis ia mengecup leherku, kemudian melepaskan pelukan kami dan memakaikan jaketnya di pundakku. Setelahnya, dapat ku rasakan, tangannya menggenggam jemariku dan membawaku ke parkiran.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuak Cuek | Daerin ✔
Fanfiction[COMPLETED] [Buku pertama dari Cuak Cuek Cities] [SHORT STORIE] maniezz "Bukan dia yang brengsek, guenya aja yang emang kurang menarik." "Nggak deng, emang dianya yang brengsek." - Diana --- gxg, fiksi 100%