Konoha, 31 Desember 2014
Pukul 11.30 PM
Mobil sedan Nissan berwarna silver meluncur dengan malas di jalanan bersalju. Kanan dan kiri jalan ramai oleh pejalan kaki, tiap pagar diuntai lampu kerlap-kerlip. Beberapa stand sederhana bermunculan di atas trotoar, menjual pakanan hangat, pernak-pernik khas tahun baru, bahkan anehnya—lilin panjang dan bunga krisan putih.
Mengapa orang-orang ini berkabung dalam perayaan? Tidak hanya satu tangkai, seorang nenek tua terang-terangan membeli satu buket yang paling besar dan yang paling segar.
Kernyitan berkali-kali muncul di dahi dua penghuni mobil silver. Dua-duanya berambut pirang dan bermata biru. Sang kakak laki-laki—Namikaze Deidara hanya dua tahun lebih tua dari adiknya.
Hanya Tuhan yang tahu, mengapa Deidara begitu terobsesi mendatangi pesta kembang api tahun baru di Konoha. Naruto dan Aniki-nya adalah mahasiswa perantauan yang kuliah di Universitas Suna. Sebuah perguruan tinggi negeri yang hanya berjarak satu jam perjalanan dari kota bernama Konoha. Deidara mengambil jurusan seni rupa sedangkan Naruto lebih tertarik pada ilmu keperawatan.
Andaikan Naruto diperbolehkan jujur, hanya Deidara saja yang sebenarnya ingin berkunjung ke kota ini. Tetapi karena si bodoh yang tidak lulus mengemudi ini tidak memiliki SIM, maka imouto satu-satunya lah yang ia seret menjadi supir. Tidak peduli meskipun hidung gadis pirang itu tersumbat dan berkali-kali bersin.
"—kau setuju denganku 'kan, Naru-chan? Aku tidak mengerti mengapa Sasori-danna begitu keras kepala! Justru karena sesuatu itu berusia pendek, seperti..."
Naruto bersin lagi.
Segala puji bagimu Tuhan!
"...ledakan..." potong Naruto otomatis dengan nada malas.
"BETUL SEKALI!" sahutnya antusias seraya melayangkan telunjuknya ke udara. Mata birunya berkilat-kilat penuh semangat.
Naruto berdo'a semoga tangan si bodoh ini terbentur tapi ternyata tidak terjadi. Deidara terus mengoceh dan meninju-ninju di detik yang sama Naruto menyeka hidung dengan tissue.
"Seni adalah melihat keabadian meledak di depan mata! Bukan menghabiskan waktu di museum kuno Uchiha!"
"Aku rasa Sasori hanya sangat menyukai barang-barang antik." Naruto menekankan kata 'sangat' itu berkali-kali.
"Barang antik?" ulang Deidara tidak terima. "Kau pernah dengar seseorang mendengar seseorang menceritakan coretan segi empat selama berjam-jam? Uchiha tidak segenius itu! Dia melupakan pentingnya sistem kanal di antara rumah-rumah—"
"Kau tidak bisa membuat kanal di pegunungan—"
"Aku tidak peduli!" Deidara mengumpat. "Design Sasuke Uchiha itu sangat jelek, itu yang kau tahu! Kau lihat mansion miliknya yang ada di perempatan jalan tadi? Menurut Sasori-danna manshion itu dibangun untuk untuk istrinya—Uchiha Naru. Tapi siapa yang mau dihadiahi rumah yang halamannya kecil begitu? Keluarga manapun tidak akan bisa memasang petasan! Awas saja kau, danna! Akan kubuktikan kau salah!"
'Dan awas saja kalau telingaku sampai tuli!' batin Naruto mengancam.
Telinganya berdengung sakit gara-gara mendengar suara frekuensi tinggi Deidara. Ini sudah kedua-belas-kalinya Deidara membahas duel argumennya dengan Akasuna Sasori, senior mereka di Universitas Suna.
Naruto hanya bisa mengelus dada saat sang kakak tak henti-henti mengoceh tentang boneka kesukaan Sasori-danna, kembang api tahun baru, Sasori-danna yang menyebalkan, pameran arsitektur Uchiha, Sasori-danna tampan sekali, dan hal-hal lovey-dovey lainnya yang membuat si bungsu Namikaze ini ingin melompat dari jendela mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIVERING COLD
FanfictionMobil sedan Nissan berwarna silver meluncur dengan malas di jalanan bersalju. Kanan dan kiri jalan ramai oleh pejalan kaki, tiap pagar diuntai lampu kerlap-kerlip. Beberapa stand sederhana bermunculan di atas trotoar, menjual pakanan hangat, pernak...