Part 4 : Filth

122 9 6
                                    

Hutan Barat Konoha
Januari 1952

Senja hari menjelang. Sepasang kaki kurus melangkah terseok-seok menembus hamparan salju dan pepohonan rapat. Tidak ada senyum secerah mentari, apalagi tatapan sendu yang menentramkan hati. Paras si gadis muda hanya dilukisi kepedihan dan putus asa. Bersamanya, angin lembah mengaburkan pandangan menulikan telinga.

Rasa dingin ini lebih membekukan dibanding saat ia terjebak badai salju pertama kali. Mantel luarnya robek, kimono di baliknya tak terkenali. ada memar di siku kanannya, juga luka lecet lain yang dibubuhkan ranting dan duri-duri tajam.

Inikah hukuman karena telah mencampakkan?

Dia. Dia kejam. Datang membongkar hati, lalu mengganti isinya dengan kotoran dari hutan-hutan. Dia. Dia penyiksa. Mengosongkan sumsung tulang hingga kosong—kosong sekali, lalu memutilasi. Dia. Dia warna hijau di sekitar nadi. Dijaga, dilupakan lalu disesali.

Dia—dia adalah aku.

Naruto tidak menghiraukan ibaan dan bayangan lirih. Ia telah memilih pergi, sesederhana angin yang tidak akan berdiam di satu tempat. Sasuke tidak akan pernah mau mengerti, meski ia menjelaskannya berkali-kali.

Kini ia berlari menuju satu-satunya tempat semua ini berawal. Sebuah pohon misterius yang yang menjebaknya ke belakang garis waktu. Pohon ini yang membawanya pergi, tentu ada cara yang bisa membuatnya kembali?

Tapi apa benar ia ingin kembali?

'Sasuke—," batin si gadis pilu.

Menyebut nama itu seolah mengutuk rahimnya untuk sejuta kelahiran.

Sasuke pasti akan baik-baik, 'kan? Semua sejarah yang pernah Naruto baca selalu mengisahkan kesuksesan dan kejayaannya. Bahkan orang seperti Danzo pun tak akan membunuh orang sembarangan.

Perlahan namun pasti.

'Ia akhirnya akan melupakanku'

Gadis itu jatuh berlutut, terlalu lelah untuk berjalan ataupun sekedar meluruskan kaki. Tangan pucat yang semula berlindung dibalik mantel kini beralih mencengkram dadanya. Sungguh ia tidak rela, membayangkan laki-laki itu hidup bersama wanita lain, membangun keluarga kecil yang bahagia tanpa dirinya―

Tidak, ia tidak boleh egois!

Bukankah ada orang-orang lain yang juga menantikan kepulangannya?

Namikaze Naruto bangkit berdiri, lalu buru-buru menghapus jejak air mata di pipinya. Kedua kakinya yang nyaris membeku, kini berdiri mantap di atas jalan setapak berlapiskan es dan hamparan salju. Safir birunya menatap lurus bayangan hitam yang kini mulai menutupi seluruh lembah.

Saat ini yang harus ia pikirkan hanyalah tingkah jahil Aniki-nya yang bodoh, Tou-san yang suka cengar-cengir tak jelas saat ketahuan menonton K-Drama, dan usapan hangat nan lembut Kaa-san yang mengantarnya terlelap.

Iya, itu saja.

Hanya itu.

Helaan nafas panjang, membawa sepasang kaki berbalut sepatu sederhana bergerak maju. Naruto merapatkan mantel lalu memeluk tubuhnya sendiri agar lebih hangat. Pepohonan yang ia lewati kini tak serapat sebelumnya. Bukit salju yang ia lewati juga semakin landai dan lebar. Beberapa kali gadis pirang ini nyaris tergelincir karena licinnya lapisan es yang menutupi jalan setapak.

Siang hampir berganti malam, cahaya mentari sudah tak cukup kuat menelusup ke balik pepohonan dan suara-suara hewan malam mulai terdengar, meski harus bersaing dengan deru angin kencang. Lututnya sakit karena berjalan jauh, jari-jarinya mati rasa karena terlalu lama berada di udara dingin.

SHIVERING COLDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang