Wanita tua membungkuk rendah sampai ke tanah. Gemetar dari kepala hingga ke ujung kaki. Rambutnya beruban, wajahnya keriput. Kimono biru tuanya sudah kusam dan ditambal berkali-kali. Musim manapun tidak ramah pada wanita ini, terutama salju dan hawa dingin yang membawa banyak penyakit.
Uchiha Sasuke berdiri bergeming. Chokuto tua di pinggangnya dapat dikenali meski dari jarak jauh. Pedang itu pernah membelah orang dewasa secara vertikal hingga menjadi dua. Jiraiya tahu Sasuke selalu mengasah bilah besinya tiap pagi, dan satu kebasan nasib wanita itu akan tamat. Hanya saja sampai detik ini hal itu belum terjadi.
Kemarahannya hanya ditujukan untuk satu orang.
"Apa yang mereka tawarkan sampai kau begitu penurut?" pertanyaan Jiraiya memecah kesunyian. Wanita itu masih bungkam.
Ia mebuang napas kesal. "Kau sadar laki-laki itu bisa saja menghabisi Naruto? Setelah Semua yang Naruto lakukan untuk desa ini? Setelah apa yang ia lakukan kita, termasuk puteramu?"
Menjerit seperti hewan kesakitan, wajah perempuan itu semakin tenggelam. Air matanya tidak bisa bertahan lama, terhapus salju yang setengah mencair dan tanah basah. Tetap saja, Jiraiya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya pada wanita ini. Tidak banyak yang tahu dimana Sasuke dan Naruto tinggal, warga desa hanya tahu mereka tinggal di pondok pinggir hutan. Kotoko pernah mengantar pulang Naruto berkali-kali setelah panggilan darurat. Hanya dia di klinik ini yang bisa mereka curigai.
"Tolong Kotoko-san," kali ini Shizune yang berbicara. Perempuan ini duduk berlutut di samping Kotoko dan mencoba memohon. "Kami harus tahu kemana Naruto dibawa pergi, kami harus menolongnya. Dan hanya kau yang bisa membantu kami." Shizune mengelus-ngelus punggung Kotoko-san dengan lembut.
Usaha itu sepertinya membawakan hasil. Kotoko sudah berhenti terisak dan menjerit-jerit, tapi ia masih duduk bersimpuh di tanah. Salju yang basah tidak membuatnya ingin beranjak bangun.
"Saya memang pantas mati!" Isaknya. "Saya pikir, saya bisa menyelamatkan semuanya. Di-dia—Shimura-sama, berjanji tidak akan menyakiti Naruto-san, hanya akan membawanya sebentar ke ibu kota. Mereka berjanji akan membawakan obat, makanan, vaksin—dan, dan Naruto-san tidak melawan."
"Dia memang sudah lama ingin pergi," Sasuke berucap tiba-tiba. "Naruto ingin meninggalkan desa ini." Meninggalkanku. Pikirannya tak terucapkan.
Jiraiya menunjukkan wajah tidak suka. "Kita tidak akan tahu jika tidak benar-benar bertanya. Bisakah kau bersikap optimis beberapa menit saja, muridku? Kau membuatku depresi."
Sasuke tidak mengindahkannya. "Aku membuang-buang waktu di sini."
"Apa? Kau tidak bermaksud menembus salju ini sendirian—"
Telinga Sasuke tuli.
Sosok itu berjalan memunggungi mereka bertiga. Kakinya mungkin sudah tidak seperti dulu, tapi ia masih bisa mengendalikan Aoba sama seperti saat ia pertama kali berkuda. Kuda jantan hitam itu berdiri kokoh di tengah udara dingin. Pelananya sudah ia pasang sejak lima belas menit lalu. Jika memang mereka menuju Tokyo, dengan kondisi cuaca seperti ini seharusnya mereka belum jauh.
Aoba meringkik dan mengangkat kedua kaki depannya begitu Sasuke duduk di pelana, lalu berlari tanpa harus diperintah. Mereka meninggalkan Konoha dan kepala desanya yang menatapnya keras. Sasuke sudah tahu dan menerima konsekuensinya. Ia dibesarkan di tengah-tengah tentara, bukan seniman ataupun aktor politik. Ia bisa mati mengenaskan jika sedikit saja salah langkah.
Salju turun perlahan. Jejak kaki di jalan setapak sudah tersamar dan benar-benar menghilang di persimpangan. Sasuke menerobosnya, tapi juga menuju jalan lain yang mungkin dilalui laki-laki itu dan Naruto. Semua anak buah Sai Shimura masih di klinik, dia pasti hanya membawa Naruto sendirian.
KAMU SEDANG MEMBACA
SHIVERING COLD
FanfictionMobil sedan Nissan berwarna silver meluncur dengan malas di jalanan bersalju. Kanan dan kiri jalan ramai oleh pejalan kaki, tiap pagar diuntai lampu kerlap-kerlip. Beberapa stand sederhana bermunculan di atas trotoar, menjual pakanan hangat, pernak...