BAB 2

0 1 0
                                    

***

"Sat, lo yakin gak ini berhasil? Kalau tambah parah, abis lo di tangan gw!"

Satria menatap Sunio horror. Pasalnya kini ia tengah mengobati jerawat Sunio dengan daun paruh burung yang biasa dipakai Bundanya untuk mengobati gatal-gatal di tubuh.

"Lo gak percaya amat sama gw. Sejujurnya ini tuh resep dari nenek moyang, Sun. Cuma karena gw gak pernah jerawatan, jadi gak pernah gw coba."

"Berarti manjur kan, Sat?"

"Ya kalau gak manjur mungkin tambah ancur. Betul gak?" Jawab Satria yang menyengir tanpa dosa. Ia kemudian melanjutkan menumbuk daun paruh burung dan ditempelkan ke seluruh muka Sunio.

Sunio yang pasrah pun hanya sesekali memandangi pantulan wajahnya di kaca. Ia meringis melihat wajahnya penuh dengan dedaunan hijau yang berair.

"Gak usah tampilin muka melas juga kali, Ngab! Tenang aja, gw jamin besok pagi juga lo terkejut dengan hasilnya. Dan Tiara yang biasanya mengolok-olok kalau diri lo jelek, burik, atau apalah itu. Bisa-bisa dia kesengsem deh sama lo."

"Bisa ae lo! Lo emang teman gw yang paling baik deh. Ya walau pun kadang bang**t juga sih."

"Hahaha."
Tawa keduanya pecah bersamaan dengan datangnya kakak sulung Sunio yang bernama Sintia.

"Haaasyuhhh... Huahaha... Itu muka Nio kenapa, Sat? Anjir, malam-malam dah kayak kolor ijo." Sintia masih tertawa terbahak-bahak. Ia tidak heran jika tingkah Sunio dan Satria aneh. Tapi yang ia herankan, sejak kapan adiknya itu perduli dengan mukanya?

Bunda Lidya saja sudah bosan mengajak Sunio  ke dokter, tapi yang di ajak malah mager. Katanya, itu jerawat nanti kalau udah bosan di mukanya juga bakal pergi-pergi sendiri.

Eh ternyata bukannya pergi, si jerawat rupanya sangat betah tinggal di muka Sunio. Malah sudah 2tahun dan beranak-pinak di sana.

Sintia berhenti tertawa dan mengusap air matanya. Ia sampai lupa, bahwa tujuannya menghampiri Sunio untuk memberi tahu sesuatu.

"Dek, besok lo kan libur sekolah. Lo di suruh tuh, nganterin Bunda ke rumah temennya. Biasa, Arisan ibu-ibu."

"Kenapa gak kakak aja? Nio males ah."

Sintia kini duduk di samping Sunio. Tangannya dengan cekatan mengambil jeruk yang ada di meja dan mengupasnya. "Gw kan kerja, Adek bontot!"

"Hahh... Iya deh. Nanti lo ikut gw ya, Sat!"

"Gak!! Gw paling anti ikut ke arisan, bro. Ngeri soalnya."

"Di sana kan banyak makanan, apanya yang ngeri coba?"

"Gak deh, lo sendiri aja yang antar Bunda Lid. Gw mau antar si jerry ke pet shop."

"Ihhh... Jerry kucing lo yang gudikan itu? Mau lo apain? Jangan-jangan mau lo jual ya?"

"Gila, ya gak lah. Mana tega gw, Sun. Justru gw kesana buat ngobatin si jerry, kan di sana ada dokternya-"

"Lagian gw kasian juga sama si jerry. Beberapa hari ini dia makan gak habis, tidur juga gak nyenyak. Mungkin gara-gara gudik di lehernya itu tuh."

Sintia tertawa. "Hehh cengunguk! ya jelas kucing lo makan gak habis. La kemarin sore pas gw mampir ke rumah Bunda Nadya, kucingnya hanya lo kasih makan nasi-nasi doang. Pantas lah dia tidur gak nyenyak juga, orang perutnya lapar. Lo mah tega bener!!"

"Udah sana kalian buruan cepet tidur. Jangan nongkrong di teras mulu. Di samperin nenek-nenek nyahok lo pada." Ucap Sintia seraya berlalu pergi memasuki rumah.

Sunio dan Satria yang mendengar ucapan Sintia bergidik ngeri. Keduanya menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Sat, gw pulang deh. Itu mumpung papi gw udah datang." Satria buru-buru berlari ke arah rumahnya. Ia takut nanti papinya keburu masuk rumah.

Melihat Satria yang berlari, Suniopun berteriak, "Oke Ngab. Jangan lupa besok pagi lo harus nonton live streaming di channel YouTube gw, ya!! Gw mau pamerin muka kinclong gw ke penggemar."

Di lain tempat, terlihat seorang gadis sedang menggunakan pisau dapur untuk menggores jari-jari lentiknya.

"Sstttt...!!" Ringisnya pelan.

Darah mulai menetes, mengotori lantai dan pisau yang ia gunakan. Ia sangat membenci dirinya sendiri.
Di luar rumah ia terlihat seperti Tiara si gadis yang galak dan bar-bar. Namun ketika di rumah, tepatnya di dalam kamarnya. ia hanya seorang gadis yang menyedihkan.

Pranggg!!! Prang!!!!
Suara barang-barang pecah terdengar di seluruh ruangan.

"Pergi saja kamu dari sini! Untuk apa wanita tidak ada harga dirinya sepertimu kembali ke rumah ini lagi? Ja**ng tetaplah ja**ng."

"Minggir kamu, Janu! Aku kemari bukan lagi untuk hartamu. Aku akan mengambil putriku-"

"Tiara!!"

"TIARA!!"

"AYO IKUT MAMI!"

"Minggir kamu, Janu!"

"Jangan membuat keributan disini, Marin! Aku sudah berbaik hati tidak menuntutmu di pengadilan. Tiara tidak butuh sosok ibu seperti dirimu!"

"Aku tidak perduli! Aku tetap akan membawa Tiara!-"

"Untuk apa, hmm? Untuk kau telantarkan? Jangan harap itu terjadi, Marin!"

Tiara mendengar Maminya meneriaki dirinya. Tiara juga mendengar apa yang Papi dan Maminya perbebatkan. Namun ia tetap diam tak menjawab apapun. Inilah yang selalu dia takutkan, ini juga alasan mengapa seorang Tiara terlihat menyedihkan.

Kedua Orang tuanya sudah resmi bercerai 6 bulan yang lalu. Ia yang sudah berusia 17 tahun memilih untuk tetap tinggal bersama Papinya. Ia tidak mau tinggal bersama Maminya yang menurut dia sangat toxid.
Maminya juga yang telah memilih meninggalkan keluarga kecilnya. Hanya demi seorang pengusaha kaya, yang nyatanya kini sudah nyaris di ambang kebangkrutan.

Tangan tiara menggenggam erat pisau ditangannya. Bibirnya bergetar menahan tangis. Gadis itu sangat terpuruk malam ini.
Lalu dengan sengaja ia menggoreskan pisau itu tepat di nadi lengannya.

Darah mengucur bertambah banyak dari sebelumnya. Jantungnya di paksa keras memompa, oksigen di paru-parunya seperti tersedot entah kemana. Tiba-tiba saja pandangannya mengabur, Sayup-sayup ia melihat pintu kamarnya di buka. Suara panik Papinya terdengar lirih sebelum pandangannya benar-benar menghitam.

***

"Ya ampun... Yah, Ayah!! Lihat ini muka anak Bunda kok jadi seperti ini!"

Pagi-pagi sekali Bunda Lidya memasuki kamar Sunio. Ia ingin membangunkan puteranya yang tertidur seperti kebo. Tetapi Bunda Lidya syok dengan apa yang di lihatnya.

Sunio dengan muka bantalnya pun bertanya, "Apa sih Bun, pagi-pagi udah teriak keras-keras. Memang muka Nio kenapa? Tambah ganteng?"

'Tambah ganteng'
Kata-kata itu seperti menggelitik hatinya. Mengingatkan dia pada usahanya semalaman. Sunio senyum-senyum tidak jelas, tapi di lihatnya wajah Bundanya itu. Kenapa Bundanya terlihat khawatir?

"Kenapa sih bun?" Ulangnya.

"Coba deh Adek lihat kaca, Bunda gak tega mau bilang."

Nio turun dari kasur empuknya dan berjalan menuju kaca di sebelah kanan kamar mandinya. Ia pun melihat kaca yang memantulkan wajahnya. Deg!!

Sunio terkejut melihat kaca di hadapanya. Tangannya meraba setiap jerawat di mukanya. Ini membesar, yang ini meradang, dan jerawat batu yang mulanya hanya beberapa ekor, kini terlihat berdesak-desakan di jidatnya.

"HUAAAA.....!! SATRIA!!!! DASAR KAMBING HUTAN! BANG**T MEMANG!-" Teriakan sumpah serapah terlontar dari mulut Sunio.

Bunda Lidya yang mendengar teriakan Sunio malah terlihat bingung. Jerawat muncul di jidat dia, kenapa jadi teriakin Satria???

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BEBEK JELEKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang