“We just become strangers who knew each other very well.”
( Samu's gaze. )
~ Ilustrasi, sorot mata Samu. ~• • •
Aku benar. Rembulan pertama tadi malam menjadi saksi buta untuk malam panjang yang ditelanjangi di bawah cahaya rembulan.
Malam yang beroperasi sangat lama, kini menyembunyikan kembali benda malamnya setelah ia menyimpan semua memori, yang mungkin, hanya kami bertiga yang tahu.
Terlewatkan sudah malam itu, terlewatkan dengan semua emosional dan begitu banyak perasaan telah terurai. Emosional baru yang menyerap dalam diriku, Samu, dan sinar rembulan pertama kami.
Rasanya, baru satu jam yang lalu sejak aku memejamkan mata. Baru satu jam yang lalu sejak aku merasakan untuk pertama kalinya, tertidur begitu nyaman. Dengan perasaan penuh.
Sampai-sampai aku rakus akannya. Memintanya lebih, sebab perasaan ini, belum pernah aku rasakan dalam tidurku. Aku seperti tertidur di dalam rumah. Rumah dalam definisi yang sesungguhnya.
Cahaya matahari pagi terus memaksaku untuk tersadar. Cahaya itu cemburu, ia menerobos penglihatanku dan memaksaku untuk terjaga.
Cahaya itu memang tidak berhasil merayuku. Tetapi sesuatu yang pertama kali menyapa penciumanku, membuatku tersadar penuh. Aroma milik seseorang yang berperan besar untuk malam purnama pertama yang menyimpan memori baru.
Aroma lavender yang menyapa penciumanku, membuatku tanpa berpikir panjang menolehkan kepalaku ke samping dan mendapati bahwa dia telah pergi. Hanya tersisa aromanya. Ia telah pergi bersama rasa kantukku.
Kupikir dia akan tetap di sini hingga pagi tiba. Tetapi buka 'kah bagus jika ia pergi lebih pagi? Laki-laki itu tidak akan melihat wajah bangun tidurku.
"Mencariku?" Aku dengan spontanitas menoleh kedepan dan memusatkan pandanganku kepada pelaku yang membuat rasa kantukku lenyap begitu saja.
Ia ada di sana, bersandar pada penyanggah jendela. Membelakangi sinar matahari pagi, dan menatapku tajam.
Air menetes dari ujung rambutnya yang basah. Kemeja putih tadi malam telah digantikan oleh kaos navy polos. Koas itu terlihat kecil untuknya, sehingga menampakkan otot otot lengannya.
Pagi ini adalah kedua kalinya aku mendapati Samu tidak berpenampilan formal.
"Morning, Lady moon." Samu menatapku datar. Tetapi wajahnya pagi ini terlihat lebih cerah.
"Morning.."
"Istirahatlah, jika masih lelah." Laki-laki itu berjalan ke meja riasku, dia berhenti di sana, lalu berbalik kearahku dengan tangan kanannya menggenggam segelas air putih, dan tangan kirinya telah melingkar ikat rambutku.
"Minumlah." Ia menyodorkan segelas air, kuterima, lalu ia mendudukkan dirinya di belakangku. Tangannya mengambil setiap helai rambutku untuk akhirnya laki-laki itu ikat dengan asal.
Air ini tandas tak tersisa. Kutaruh cangkirnya dibawah kakiku, dan membalikkan posisi dudukku hingga sempurna menghadapnya. "Biar aku ajarkan seni mengikat rambut."
Aku melepaskan ikatan rambut yang kusangsi terlihat sangat berantakan.
"Jangan, Keys! Itu sudah bagus." Samu berujar cepat, tangannya ia lipat dengan pandangan menatapku dalam.
"Bagus apanya, Samu. Aku bahkan tahu ikatanmu sangat jelek meski tidak melihatnya secara langsung."
Aku mengambil rambutku, dan mulai mengikatnya. Di jarak sedekat ini, aku dapat melihat ekspresi yang samar-sama Samu perlihatkan.
Ada segaris lekukan dibawah bibirnya, dan kening yang sedikit menekuk, membentuk ekspresi yang dapat aku simpulkan—bahwa ia sedang cemberut.
Sedikit terpana melihatnya, tetapi ia tidak terganggu. Laki-laki itu tetap mengunci tatapan kepadaku tanpa berkomentar, hingga aku selesai mengikat rambutku.
"Terima kasih untuk minumannya." Aku tersenyum tipis padanya. Ia mengangguk samar.
Samu menyelipkan poni kecil yang tidak terikat ke belakang telingaku. "Tidurnya nyaman, Keys?"
Aku mengangguk kecil. Malam tadi, rasa-rasanya tidak lagi tertidur dalam ruang kosong, dengan perasaan hampa, dingin, ketakutan, dan marah. Malam penuh air mata, dibawah derasnya hujan, tanpa cahaya rembulan.
"Apa aku mendengkur?" Aku menatapnya malu-malu. Takut ia mengangguk mengiyakan. Itu akan sangat memalukan.
Kudapati laki-laki itu menggeleng pelan, "Kau tertidur seperti orang mati." Katanya, ketika Laki-laki itu bangkit berdiri, dan mengambil cangkir kosong yang kuletakkan dibawah kakiku.
"Bersiaplah. Hari ini akan sangat panjang. Sudah kubaca setiap pertanyaan di dalam buku itu. Aku tunggu diluar." Ucapnya, ketika tangannya mengusap sisi wajahku.
"Wajah bangun tidurmu... cantik." Laki-laki itu berjalan pergi, meninggalkanku yang melotot lebar memandang buku diary yang terletak di atas meja riasku.
"Astaga, ceroboh sekali!" Aku memukul keningku sendiri. Buku diary itu aku taruh di dalam laci meja rias, setelah semua pertanyaan yang ingin aku ajukan kepadanya, tertulis didalamnya. Dan kini kudapati buku itu telah terletak di atas meja riasku.
Aku memang sudah mempersiapkan semuanya. Semua yang telah menghantui pikiranku, tentangnya, tentang hidupku, dan tentang takdir yang terus berjalan tanpa menunggu untuk aku mengerti.
Tetapi, apakah aku sudah siap dengan semua jawabannya? Aku merasa... ini semua dapat membakar jantungku.
Rasanya, ada sesuatu yang lebih antara aku dan Samu. Sesuatu yang hanya melingkupi kami dalam ruang temu, berdua. Karena di luar lingkaran api yang Samu buat untuk mengurungku bersama cintanya, ia mengunci rapat-rapat, semua pintu dalam dirinya. Membuat aku kenyang atas cintanya yang meluap-luap, tanpa membiarkan untuk aku tahu semua sisi tentangnya.
• • •
Keys,
Cursed.TBC.
N. Ternyata, untuk memvisualisasikan karangan cerita ke dalam sebuah kalimat itu, nggak mudah. :(
KAMU SEDANG MEMBACA
Keys
Teen FictionKeys, prettiest, strongest, sweetest, my love. ⚠️ The male lead has Dissociative Identity Disorder ( DID ) experience. ⚠️