chapter 10

4 1 0
                                    

Hari ini Gips yang membalut lengan kiriku akan di ganti. Bukan tanpa alasan, ini karena tadi malam saat hendak memakan mie kuah level 2 aku tak sengaja menyenggol mangkuk mie dan akhirnya gipsku basah.

Yang membuatku tak nyaman ketika proses pergantian gips adalah tatapan mata perawat yang tertuju padaku. Lebih tepatnya pada warna mataku.

"Apa ada lagi yang kamu butuhkan?"

"Ada," rasa penasaranku sudah mencapai batas, "kenapa kakak terus menatap mataku?"

Perawat itu langsung gugup, matanya kini tak berani menatapku lagi, "itu ka-karena mataku sangat unik, nak."

Aku memiringkan kepalaku, "benarkah?"

Perawat itu tersenyum, sebuah senyuman yang digunakan menutupi sesuatu, "itu benar, coba kau lihat di sekelilingmu. Jarang ada orang yang memiliki mata berwarna hitam seperti matamu."

"Okay," perawat ini memberikan jawaban yang kurang memuaskan. ya sudahlah, akan aku cari tau sendiri jawabannya.

Beberapa saat setelah perawat itu pergi aku memutuskan untuk jalan-jalan. Jika berada di dalam kamar terus bisa membuat tubuhku kaku. Tidak ada tempat yang ingin aku tuju, jadi aku hanya terus melangkah mengikuti insting dan sampailah aku di sebuah taman yang terdapat banyak wahana mainan anak-anak. Mungkin ini taman bermain khusus anak-anak.

Hanya ada beberapa orang dewasa, di tempat ini ada sekitar 5 robot berbentuk mirip manusia yang ditugaskan untuk menjaga anak-anak. ada juga robot yang berkeliling sambil membawa makanan dan minuman khusus untuk pasien. Berkat mataku yang agak tajam aku bisa melihat Aditya yang sedang bermain ayunan sendirian.

Persis seperti yang pernah ia katakan, tidak ada anak-anak yang mau bermain dengannya. Malang sekali anak orang kaya satu ini. Apa aku harus menemaninya? Hmm, kurasa memiliki satu teman tidak akan memberikanku trauma seperti dulu.

Tanpa basa-basi aku langsung mendekati Aditya lalu duduk di ayunan sebelahnya. Kurasa anak ini sedang melamun, buktinya dia tidak menyadari keberadaanku. Aditya menatap ke arah sekumpulan anak-anak yang sedang bermain.

"Kau tidak ikut dengan mereka?" aku bertanya dengan nada pelan.

"HUAAAAA!" Aku langsung menutup telingaku saat anak ini berteriak, "kapan kau ada disini?"

"Baru saja datang," ayunan milikku mulai kugerakkan, "kau belum menjawab pertanyaanku."

"Ah, itu karena kesalahanku sendiri," Aditya ikut menggerakkan ayunannya, "saat pertama kali datang ke rumah sakit aku bersikap buruk pada mereka. Aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluargaku, jadi karena kasih sayang yang berlebihan membuatku jadi anak manja dan agak sombong."

"Dan menyebalkan," aku menambahkan. Aditya tertawa hambar, itu artinya ucapanku barusan benar. Aku mendorong ayunanku lebih keras.

"Aku kira dulu aku tidak membutuhkan yang namanya teman karena kupikir hal itu tidak berguna dan sekarang ... Aku merasa agak kesepian."

Jadi begitu, Aditya tidak ingin punya teman karena merasa hal itu tidak berguna, sedangkan diriku dulu tidak ingin punya teman karena takut merasakan sedih jika suatu saat pertemanan yang aku buat akan hancur. Dulu aku pernah mendengar kata-kata 'di setiap pertemuan akan ada perpisahan' itu membuatku merasa jika membangun pertemanan tidak akan ada gunanya. Cepat atau lambat hubungan akan semakin merenggang hingga akhirnya putus.

###

Hari demi hari pun berlalu, kadang kala Aditya datang ke kamarku sambil membawa beberapa buah-buahan yang sudah dipotong dan dikupas. Aku memutuskan untuk memberitahu dia lokasi kamarku. Oray tidak akan memarahiku karena dia tidak tahu, paman berambut cat dinding juga hanya datang setiap hari tapi di jam-jam tertentu.

Aku hanya perlu mengatakan pada Aditya jika ia tidak boleh datang ke kamarku pada jam di mana paman berambut cat dinding itu biasa datang.

"Vanya, apa keluargamu tidak datang berkunjung? Yang wanita cantik itu loh."

"Oh itu, dia kakakku. Dia punya banyak pekerjaan, jadi tidak bisa datang setiap hari," aku menjawab, setengahnya bohong, sisanya tidak.

"Vanya, kenapa kau suka menggambar?" tanya Aditya.

Tanganku yang sedang menggambar salah satu karakter kartun terhenti. Aku menatap Aditya.

"Karena aku suka," itu alasan klise.

"Apalagi yang kau suka selain menggambar?"

"Aku suka musik, tidur, bermalas-malasan, membuat cerita karangan, dan juga pujian dari orang yang kusuka."

Suka yang aku maksud adalah suka dalam artian standar, bukan berunjuk pada perasaan cinta dan sejenisnya. Kurasa Oray sudah termasuk kedalamnya sedangkan Aditya masih dalam tahap seleksi. Paman berambut cat dinding itu masuk dalam kategori biasa.

Hari demi hari berlalu, Aditya dan aku sudah menjadi dekat. Sekarang dia masuk ke dalam orang kepercayaanku, kategori yang bahkan belum di masuki oleh Oray. lagi pula wanita gila itu adalah pembunuh bayaran, mana mungkin aku terus percaya padanya.

Alasan utama Aditya masuk ke dalam kategori orang terpercaya ada 3. Pertama, dia masih bocah polos. Kedua, aku dan dia memiliki pemikiran yang hampir mirip. Dan alasan terakhir adalah karena dia telah memberitahuku tentang rahasia pemerintah. Rahasia yang bertemakan, deskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, dan genetika.

Aditya mengatakan jika warna mata dan rambutnya sebenarnya tidak segelap saat ini, dia terkena sebuah penyakit kelainan genetik yang dinamakan Ebris Morbus. Penyakit ini membuat penderita mengalami penggelapan pada warna rambut dan matanya secara perlahan.

Para dokter mengatakan jika penderita penyakit ini akan mati sebelum menginjak usia 20 tahun. Tubuh penderita akan melemah seiring penggelapan warna di tubuhnya, namun itu semua hanyalah kebohongan belaka.

Dahulu, mungkin sekitar 2 dekade lalu, ada sekelompok orang-orang pemilik mata dan rambut hitam. Secara genetik mereka memiliki fisik, daya tahan dan evolusi yang lebih hebat dari orang biasa.

Pemerintah melakukan penelitian tentang orang-orang bermata hitam. Itu penelitian paling mengerikan yang pernah ada. Mereka di berikan berbagai macam jenis racun, senyawa kimia bahkan radiasi nuklir. Orang-orang bermata hitam itu tidak mati, mereka masih hidup namun tersiksa.

Saat informasi tentang penelitian bocor terjadi pemberontakan di berbagai belahan dunia.

Pemerintah pun melakukan pembasmian besar-besaran pada siapapun yang memiliki warna mata serta rambut hitam. Sayangnya pembasmian itu tak berjalan sesuai rencana.

Orang-orang bermata hitam melakukan perlawanan, mereka bertarung, melarikan diri, bersembunyi di berbagai tempat. Mereka bisa beradaptasi dengan berbagai medan alam, mulai dari dataran paling tandus hingga dataran paling dingin sekalipun.

Pemerintah terus melakukan pembasmian. Tahun demi tahun berlalu, pembasmian itu mulai mereda akibat menghilangnya kemunculan orang-orang bermata hitam.

Orang-orang bermata hitam itu tidak punah, mereka bersembunyi. Akibat dari perlawanan mereka sebuah virus tersebar, virus itu mengandung penyakit Ebris Morbus.

"Mereka benar-benar hebat," aku berkomentar.

"Siapa yang hebat?"

"Pemerintah dan orang-orang bermata hitam itu. Sudah berapa lama pemerintah menyembunyikan hal ini? Lalu, sudah berapa lama orang-orang bermata hitam bersembunyi sambil menahan rasa benci akibat penelitian itu?"

"Mereka hebat karena bisa menyembunyikan itu semua selama ini."

Aku menatap Aditya, "dari mana kau tau itu semua?"

Aditya terdiam, raut wajahnya menunjukkan jika ia agak ragu untuk memberitahuku.

"Kalau tidak mau juga gak papa kok," aku tidak ingin memaksanya membuka mulut.

Aditya menggeleng, "akan aku beritahu," dia menggantung ucapannya.

"Aku tau dari ayahku. Dia-lah petinggi pemerintah yang mengurus masalah orang-orang bermata hitam sampai pada akhirnya aku terkena penyakit ini."

#
#
#
#
#

To be continued

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 01 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Current Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang