Mereka disatukan untuk saling menghancurkan.
------------------------------------
Kemungkinan yang ditentukan oleh takdir bisa berubah seperti kedekatan teman kecil. Dalam satu rentangan waktu, ketika ujaran di atas kebohongan membalut kerling kesendirian, maka seseorang tidak lagi mengulang untuk percaya.
Kepada si pemberi harapan, nada di sini berbeda dengan sungai Evelyn si pemberi damai. Di sini tidak ada hening kecuali malam tiba. Matahari baru saja menggantikan bulan dan cahayanya memberi rasa hangat pada hati yang mendadak merasa sunyi pagi ini.
Seperti ulasan waktu antara masa lalu dan masa depan, kelompak mata gadis ini mengikuti setiap perubahan waktu hingga sekutu kembali bersuara. Sahut-sahutan mereka seperti orkestra di atas panggung, namun kekehan kekesalan, sesaat telinga gadis ini tergelitik untuk memaki. Sial! Ia mengikuti aturan, tidak membantah sekalipun hati di dalam sana memberontak tak ingin kalah, tapi lihat apa yang orang-orang itu lakukan?! Hei, mereka serupa!
Tidak ada perbedaan dalam bentuk tubuh. Terlahir hanya beberapa detik seharusnya mereka mendapatkan semua hak yang sama. Perhatian? Omong kosong! Bahkan telapak kaki kecil dibiarkan menggantung tanpa pengertian orang dewasa.
"Bagaimana dengan redblue? Kau suka itu? Dad bisa meminta Rose menyiapkan keperluanmu sekarang juga jika kau setuju."
"Untuk apa? Aku tidak terlalu suka merah, tapi jika dad memilihkan warna itu, aku tidak akan menolak. Pilihanmu selalu menjadi yang terbaik."
"Begitukah? Kalau begitu dad akan segera menghubungi Rose. Tapi tunggu, perlombaan itu akan diadakan malam ini, bukan?"
Kata-kata manis semakin terdengar menjijikan. Semakin lama semakin tidak terkontrol arah pembicaraan itu. Menyebalkan sekali rasanya pagi ini. Ia lalu berdesis lirih, jika saja boleh bicara, ia akan dengan senang hati meneriaki wanita itu dengan makiannya, agar wanita itu berhenti dan mulai makan dengan tenang.
Tapi tempat ini neraka. Ia tidak diperkenankan bersuara kecuali jika pria tua itu membutuhkan jawaban. Hanya wanita berponi itu saja yang berhak bicara, dan itu sama sekali tidak terlalu penting. Sona hanya mencari perhatian, seperti yang biasa wanita itu lakukan.
"Jadi dad mengizinkanku mengikuti perlombaan itu? Dad yakin? Tidak salah bicara? Oh ya Tuhan,,, aku sungguh senang jika begitu."
Ya ampun, Gadis ini kembali merasa pusing mendengar suara saudaranya yang seperti pemecah air laut.
Sona terlalu banyak mengumbar kebohongan dan telinganya mulai lelah mendengarkan. Frederik seperti robot dan Letishia adalah komputer tua tanpa penghubung yang hanya bisa mengatakan ya, ya, ya, dan ya. Mereka menyebalkan ketika mulai mengembangkan khayalan putrinya.
Sialnya, mereka juga seolah menyetujui jika semua ujaran gadis itu akan menjadi kenyataan dalam waktu singkat.
Gadis ini memijit dahinya lelah. Menjadi putri terkecil dari seorang pengusaha kaya raya nyatanya tidak membuat hidup seorang gadis muda menjadi bahagia. Apa itu kepuasan? Soeun bahkan mulai membenci takdir dan keputusan Tuhan yang dengan seenaknya menghadirkan dirinya sebagai seorang bayangan.
Hidup seorang diri, ada seperti tidak ada. Lihat bagaimana para manusia itu menatap putri kesayangannya, seolah tidak ada makhluk lain di tempat ini.
"Tentu saja sayang, kau bisa pergi setelah ayah menyelesaikan rapat. Aleon akan menemanimu, seperti janji ayah tempo hari tidak akan ada penolakan."
"Sungguh?"
"Ayah tidak akan mengecewakan putri cantik ayah tentu saja."
Cibiran terlontar begitu saja dari bibirnya. Tidak ada sesal di bola mata gadis ini. Meski suasana hangat di depan sana berubah menjadi ketegangan, gadis ini hanya mengendik angkuh ketika ibunya berdeham memberi peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scandal
FanfictionSoeun tidak pernah berpikir jika kehidupannya akan dikendalikan oleh saudara kembarnya sendiri.