Langit sudah di selimuti awan hitam pertanda sebentar lagi akan turun hujan. Para pelayat yang ikut ke pemakaman sudah berangsur pulang, hanya menyisakan seorang remaja tanggung putri yang masih duduk menunduk beralaskan tanah merah dan seorang lelaki setengah baya yang mengenakan kacamata hitam yang masih juga berdiri menatap kosong ke arah sang putri. Tak lupa beberapa ajudan dan seorang asisten rumah tangga mereka yang turut berduka atas kepergian seseorang yang mereka anggap berharga.
"Non, sudah mau hujan. Ayo kita pulang." Bujuk mbok Sri pelan sembari mengelus puncak kepala anak majikannya itu.
Remaja itu hanya menggeleng pelan tanpa merubah sedikitpun posisinya.Kedua tangannya meremas kuat tanah merah yang kini ada di hadapannya. Sekelebat memori menyakitkan menari riang di kepalanya.
Hancur, hatinya kini hancur tak bersisa. Ibu yang selama ini dia hormati, dia sayangi , kini sudah tertutup tanah. Siapa yang bisa dia salahkan atas kematian ibunya kini. Ayahnya? Atau orang itu? Atau takdir? Atau bahkan Tuhan?
Sesak di dadanya hampir saja membuat paru-parunya tak berfungsi lagi. Perpisahan paling memilukan adalah kematian.
Dunianya hancur. Siapa lagi yang akan mengecup keningnya saat dia akan tertidur nanti. Siapa lagi yang akan menyambutnya dengan beragam hidangan di pagi hari nanti. Dan siapa lagi yang akan mendengarkan keluh kesahnya sepanjang hari.Tidak ada air mata yang mengalir lagi, dia sudah lelah untuk menangis. Bahkah menangis bukan lagi cara untuk meluapkan kehancuran yang kini dia rasakan.
"Aluna, ayo pulang nak. Sebentar lagi hujan akan turun!" Seorang lelaki setengah baya namun berparas tampan dan berwibawa kini berjongkok untuk mengimbangi putrinya.
Aluna menepis kasar tangan Doni ayahnya dari ujung kepalanya. Kedua netra sayu namun menyala itu kini sudah mengintimidasi Doni yang masih terkejut atas perlakuan putrinya.
"Jangan pernah pegang gue dengan tangan lo yang kotor itu!" Sarkas Aluna lalu bangkit dari duduknya.
"Gue gak pernah punya ayah yang bajingan kayak lo!"Gemuruh petir kini bersautan. Seperti ada belati yang menancap di hati Doni yang entah dari mana datangnya .
Berbahagai kesalahan yang pernah dia lakukan kini kembali menari di kepalanya.
Iya, dia memang bajingan. Dia memang memalukan. Dia sangat menjijikan. Bahkan maaf saja tidak pantas ia dapatkan.
Wanita yang dulu dia cintai sudah terkubur dengan tanah akibat kebiadapannya.
"Aluna, kamu tidak harus memaafkan ayah nak, ayah tahu ayah salah. Tapi Ayah mohon, beri ayah kesempatan untuk memperbaiki semuanya." Doni mencoba menggenggam kedua lengan putrinya yang sudah menggigil kedinginan.
"Memperbaiki?" Tanya Aluna di iringi senyum miringnya.
"Oh ya, Bapak Doni Argantara yang terhormat. Sungguh anda bisa memperbaikinya?" Bentak Aluna. Kedua netranya beralih menatap batu nisan sang ibu.
"Anda bisa membuat ibu saya kembali hidup? Apa dengan uang anda? Apa dengan ke aroganan anda? Ayo, jika anda ingin memperbaikinya, hidupkan kembali mayat yang ada di bawah pusaran ini!!"
"Cepat!" Seru Aluna.
"Cepat hidupkan kembali dia."
Doni memeluk erat tubuh putrinya yang bergetar. Di berdosa. Iya dia tak bisa di ampuni. Di penyebab kematian istrinya dan juga ibu dari putrinya.
Aluna melepas paksa pelukan Doni. Kini dia menatap sang Ayah yang sama berantakannya dengannya.
"Aluna benci ayah. Aluna sangat benci ayah." Itu kalimat terakhir yang Aluna ucapkan sebelum akhirnya dia tidak sadarkan diri.Aluna. Semoga kemalangan ini adalah yang terakhir yang kamu rasakan. Semoga esok pagi, akan ada kebahagian baru yang menghampirimu. Walau luka dan duka ini tidak akan sembuh dalam waktu semalam, setidaknya esok kamu kembali memiliki alasan untuk tetap tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
BINTANG
Teen Fiction"Jangan pernah bilang semesta ini indah di hadapan gue!" Tegas Aluna sampai urat urat lehernya terlihat. "Lo gak tau gimana susahnya hidup gue, lo gak ngerti gimana beratnya hidup bersama ibu tiri yang paling gue benci. Lo gak tau gimana sakitnya ke...