Secara sederhana, saya adalah fullstack user experience researcher (UXR) yang mengurusi dari riset pendahuluan (initial research)bagaimana manusia itu ingin dipenuhi kebutuhannya melalui website tertentu sampai menjadi seorang user experiencer writer yang mengurusi penulisan copy writing di website/aplikasi.
Ini setahun saya beralih dari riset akademis menjadi riset praktis. Saya menikmati banyak hal dalam pekerjaan ini. Namun, pada saat yang sama, banyak perasaan dan refleksi yang saya dapatkan selama berdinamika di pekerjaan yang sebenarnya punya konteks yang khas.
Tapi, tentu setiap konteks menyuguhkan seninya. Dan, ini mungkin tidak akan sama dengan catatan saya yang lain. Karena, di sini, saya akan bercerita dari sudut pandang seorang ilmuwan Psikologi.
Dan. Inilah diary saya di konteks yang sangat khas. Menggunakan pendekatan evocative autoetnography, yang mana menuangkan lebih banyak refleksi terhadap budaya, politik, dinamika dan emosi yang terjadi selama saya menikmati pekerjaan saya menjadi seorang UXR di pemerintahan. Gaya penulisan autotenografi juga beraneka rupa dan yang saya pilih adalah penulisan ala novel ilmiah yang menghantamkan emosi dan refleksi saya dengan kajian-kajian ilmiah dan saya membuka diri terhadap proses triangulasi metode, yaitu melalui observasi dan penelusuruan dokumen.
Autoetnografi merupakan metode yang dipilih karena ada banyak konteks yang tidak sanggup diceritakan dan dirasakan oleh orang lain, kecuali orang itu adalah bagian dari kultur dan budaya itu sendiri. Autoetnografi juga dipilih sebagai metode untuk konteks-konteks sensitif yang tidak bisa diakses oleh pendatang baru, sehingga kultut atau budaya itu sendiri, tidak terindera dan terasa kecuali oleh mereka yang hidup dalam budaya itu.
Beberapa pendekatan yang berkelindan dan mirip adalah personal narrative dan indigenous psychology, yang sejujurnya saya tidak memisahkan keduanya. Karena bagi saya, inilah seni ketidakpastian. Kualitatif bagi mereka yang bermadzab positivistik akan menimbulkan sakit kepala, karena ketidakjelasan batas-batasnya. Tapi, bagi seniman, ketidakjelasan ini, adalah keindahan. Membuat kita merasa meneliti adalah sebuah seni dan kita menikmati semua proses-prosesnya. Kita menikmati ambiguitas konteks, dan, kita memilih terjun dan hidup bersama ketidakjelasan metode itu. Kata ahli kualitatif, jika kamu ingin menjadi peneliti sosial, kamu harus berani masuk dan melebur terhadap konteks itu. Dan, inilah yang saya lakukan. Melebur. Merasakan. Mengamati. Merefleksikan. Dan, tugas terakhir seorang peneliti adalah melaporkan kepada dunia, apa yang ia temukan, dan apa yang ia pelajari untuk pembelajaran selanjutnya.
Yang saya nikmati lagi dari proses autoetnografi ini, kita bisa mendokumentasikan data-data mentah dalam bentuk apapun. Sebuah kebebasan yang sangat menyenangkan.
Dan inilah, tentang kopi yang diminum setiap hari, hari-hari panjang meneliti, dan saya. Selamat menyelami kopi saya.
YOU ARE READING
Coffee, Job & Me
Non-FictionAn autoethnography, personal writing, and narratives of how my bloody fight to deliver user-centered design in a government setting. (English).