Saya menyesap kopi kedua saya kali ini. Sembari memikirkan beberapa pekerjaan yang harus saya kerjakan besok.
Tapi, ijinkan saya bercerita tentang kehidupan saya.
Transformasi digital adalah keniscayaan. Tapi, hanya segelintir pemimpin yang memahami dan punya tekad soal ini. Meskipun, kebutuhan dasar masyarakat Indonesia masih menjadi PR utama pemerintahan Indonesia saat ini, tapi, ada beberapa pemimpin yang memutuskan untuk memperjuangkan transformasi digital ini, salah satunya Pak Anies Baswedan dengan Jakarta Smart City (JSC) dan Pak Ridwan Kamil dengan Jabar Digital Service-nya. Ini dia yang terjadi selama proses perjuangan itu.
Tim Akselerasi Pembangunan (TAP) Gubernur Jawa Barat
Dalam melakukan eksekusi visinya, tentu setiap pemimpin memiliki tangan kanan yang ia percaya. Apalagi, Gubernur adalah orang yang bisa jadi berasal dari luar pemerintahan itu sendiri yang tiba-tiba terpilih dan akhirnya memiliki jabatan politik. Pun Pak Ridwan Kamil punya tim akselerasi pembangunannya sendiri. Ini pun menjadi polemik baru di pemerintahan, karena TAP adalah belasan orang yang akhirnya secara politik punya jabatan yang tinggi membawahi banyak dinas-dinas di pemerintahan. Silakan searching soal polemik TAP di Google search, Anda akan menemukan banyak isunya. Salah satu isu yang sangat beraroma sosial adalah kedatangan orang baru di luar struktur selalu dianggap sebagai outgroup daripada ingroup. "Siapa Anda mengatur-mengatur kita,"
TAP ini adalah orang-orang yang secara khas punya semangat yang sama dengan Gubernur Jawa Barat, karakternya pun sama, muda, agile, terpelajar, dan bergerak sangat cepat. Masing-masing TAP membawahi domain-domain visi dari Gubernur Jawa Barat (selanjutnya akan disebut sebagai Ridwan Kamil (RK)). Mereka ditugaskan melakukan akselerasi apa-apa yang menjadi penghalang (bottleneck) di program-program pemerintahan.
Untuk transformasi digital, kami dibawahi oleh salah satu TAP, sebut saja namanya Kang Dewa (nama samaran). Seorang terpelajar, muda, dan sangat antusias dengan transformasi digital. Dan, disinilah Jabar Digital Service muncul.
Shadow Team in The Making
Kang Dewa, tentu tidak bergerak sendirian. Ia punya tim tersendiri pula. Salah satu orang itu adalah Kang Gem (nama samaran). Mereka berdua berdiskusi bagaimana caranya melakukan transformasi digital di bidang pemerintahan. Mereka melakukan riset dan diputuskan untuk membuat tim yang terdiri dari anak muda yang bersifat agile, cepat, dan tahan banting seperti di startup. Ini adalah tagline pertama mereka "Pemerintahan Rasa Start-Up". Pada awalnya, direkrutlah 20 an tim ahli dari bidang IT yang menjadi cikal bakal Jabar Digital Service yang sebenarnya nama aslinya adalah Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD), Pusat Layanan Digital, Data dan Informasi Geospasial (PLDDDIG), dibawah Diskominfo Provinsi Jawa Barat.
The Agile Team yang Kontras.
Kami berkantor di selatan gedung sate. Berdekatan dengan Masjid. Kami masuk ke area jantung pemerintahan Provinsi Jawa Barat. Tapi, kami sangat berbeda dengan apatur sipil negara. Sangat mencolok. Kami tidak masuk di jam 7 pagi. Kami bisa bebas keluar masuk kantor jam berapapun. Jika ada yang berkaos oblong, celana jeans belel, menenteng tas ransel, menggunakan cocard jabar digital service, itu bisa dipastikan salah satu dari kami.
Pakaian kami tidak formal, kami bisa masuk bersandal jepit dan berkaos oblong. Kami terbiasa rapat dengan sangat efektif tanpa bertele-tele dan siap dengan perubahan yang sangat cepat. Kita tidak punya hirarki, siapapun dan setua apapun adalah setara. Kita terbiasa tertawa terbahak-bahak antar usia, tanpa harus menekankan pada kesopanan. Kita terbiasa rapat dengan jam kerja yang tidak menentu. Kita bisa saja bekerja subuh hingga siang, setelah itu dayoff. Atau, kita lembur berhari-hari, setelah itu kita ambil dayoff berhari-hari.
Kontras. Menariknya, kita berada di jantung pemerintahan. Dan ini juga menimbulkan refraksi sosial. "Anak emas Gubernur," kata mereka.
Refraksi sosial ini kemudian dipelajari dengan cepat dan akhirnya kita diminta untuk berpakaian selayaknya ASN. Senin bernuansa coklat, selasa putih, kamis pakaian adat, jumat batik. Bekerja juga dari jam 7 pagi. Tapi, selesai lebih lama daripada ASN.
Dual Kepemimpinan : TAP atau Kepala Dinas?
Dalam proses kepemimpinan kultural, TAP lebih tinggi daripada Dinas-Dinas. Tapi, secara kekuasaan formal, Kepala Dinas lebih punya kekuatan struktural. Maka, kami ditekan oleh dua pemimpin. Pemimpin kultural yaitu amanat-amanat harian dari Pak Gubernur dibawah pengawasan TAP. Atau, kepentingan kedinasan yang dibawahi oleh Kepala Dinas.
Pembicaraan seperti ini sering terjadi.
"Siapa saja dinas-dinas yang tidak mau bekerja sama?" tanya kang Dewa, "Biar saya telpon,"
Kami hanya mengangguk-angguk saja, sebab, tidak semudah itu, kenyataan lapangan, meski sudah diberi pengantar oleh oleh Kang Dewa, kita tetap akan berhadap-hadapan dengan penguasa lapangan. Proyek ini akan tetap harus berhadapan dengan proses mediasi memasuki kekuasaan politik, budaya, dan lain-lain saat masuk ke lapangan. Kami, harus bisa membawa diri, menempatkan diri sebagai anak muda yang agile tapi menghormati budaya-budaya birokratif di pemerintahan. Kadang kami merasa, kehidupan dua dunia ini, begitu 'menantang'.
(lanjut ke part selanjutnya)
![](https://img.wattpad.com/cover/334316730-288-k171129.jpg)
YOU ARE READING
Coffee, Job & Me
Non-FictionAn autoethnography, personal writing, and narratives of how my bloody fight to deliver user-centered design in a government setting. (English).