Tidak Ada Kera Secantik Jane di Hutan

8 1 0
                                    

Dari lantai bawah kudengar suara Wu sedang bercakap dengan Mama. Dengan segera suara tersebut berganti dengan derap langkah di tangga menuju lantai dua, yang kemungkinan akan ke kamarku. Aku bersiap di balik pintu dengan berjalan jinjit agar gerak-gerikku tidak terdengar olehnya.

"Sudahlah Lo, gak usah bertingkah," ucap Wu dari balik pintu kamarku sebelum memutar handle pintu.

Aku mendengus, "Gak seru banget sih bapak-bapak satu ini."

"Bikin ulah apalagi sekarang?"

"Apa?" tanyaku balik, "Aku gak bikin ulah apa-apa."

"Ini malam minggu Lo, kau pikir aku ke sini dengan sukarela untuk menemuimu sedangkan aku punya pacar secantik bidadari kayak Alea?"

"Mama cerita soal apa emang?"

"Siapa gadis itu?"

Astaga, aku sungguh tak percaya ini. Adakah anak laki-laki seusiaku di dunia ini yang segala urusannya tak luput dari campur tangan mamanya?

"Sebenarnya agak gak sopan gak sih kalian?"

Wu duduk di tepi kasurku, "Iya juga, anggap aja aku udah ngomelin kamu ya? Ntar kalo Tante Amanda bahas, bilang aja kamu udah kuhajar habis-habisan."

Bibirku mulai mengembang, "Tapi kalo ditanya, "Kok gak ada lebam?" Gimana?"

"Abis dihajar langsung diolesin salep klinik TongSam sama Wu," dia terkekeh sendiri oleh ucapannya. "Kok bisa ya tukang obat itu mengklaim bahwa khasiat obatnya langsung menyembuhkan dalam sekali pakai, hahaha," lanjutnya dengan tawa yang semakin riah.

Aku ikut tertawa, "Manusia juga bisa membuat jatuh cinta bahkan dalam sekali tatap."

"Oh, mau bahas soal gadis itu nih?" Ia melirikku penuh ejek.

Aku menarik kursi belajarku dan kutempatkan tepat di depan Wu dan mendudukinya. Kusilangkan kakiku dan tanganku bersedekap untuk mendapatkan rasa nyaman, "Kalau kamu sudah mendengar dari prespektifku, kamu akan memaklumi ketertarikanku padanya."

Wu menaikkan salah satu alisnya, "Jadi siapa dia?"

"Seorang gadis yang dipertemukan oleh takdir."

Wu menarik napas panjang sebelum berkata, "Sebenarnya begini, Palalo Peyang, aku Tim yang Tidak Mempercayai Cinta pada Pandangan Pertama."

"Kalau memang begitu, kamu takkan mendekati Alea sebelum jadi pacarmu karena dia good-looking," cibirku tak percaya.

"Cantik itu bonus. Anggapannya gini, sebagai laki-laki, apakah kita menyukai semua cewek yang bertampang cantik?" tanyanya menantang.

Ini sebuah trik menyudutkan menurutku, maka kujawab, "Nggak semua cewek cantik yang kita suka, tapi cewek cantik yang single, available, dan terjangkau oleh kita," tuturku penuh kemenangan.

Wu terdiam sejenak, menimbang pernyataanku. "Itu mah kamu doang, Njir. Aku Cuma suka sama Alea."

Lagi-lagi Alea dijadikan tameng perlindungan oleh Wu, sebenarnya aku kasihan juga dengan gadis itu yang selalu muncul di setiap kalimat Wu ketika dia terdesak.

"Lalu apa pertimbanganmu hingga memilih Tim yang Tidak Mempercayai Cinta pada Pandangan Pertama?"

Wu menatapku dengan ekspresi –dengarkan aku-nya, dan berbicara, "Hal itu serupa dengan hewan yang birahi,"

Aku bahkan tak dapat menemukan kata-kata saking terkejutnya.

"Ibaratnya begini Lo, Tarzan jatuh cinta sama Jane bukan karena dia adalah kera tercantik di hutan, tapi cuma dia satu-satunya spesies manusia di hutan yang kita asumsikan si Tarzan ini telah sekian lama menahan gejolak biologisnya."

Tentu saja aku mengelak, "Tapi manusia kan juga hewan."

Wu mendengus kesal, "Lalu kenapa kau gak naksir sama babi saja? Semua hewan pun cenderung memiliki ketertarikan dengan yang satu spesies dengan mereka.

"Nggak, dengarkan aku dulu, aku serius ini," lanjutnya,"Lagi pula menurutmu masuk akal nggak sih merasa tertarik dengan orang ketika Jefrey Hall mengatakan dalam jurnalnya bahwa kita membutuhkan waktu sekitar 50-200 jam untuk bisa mengubah status dari yang tadinya stranger ke status teman dan orang terdekat?"

"Dan dengan penelitian itu kamu menyimpulkan bahwa orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama serupa dengan hewan yang birahi?"

"Sebenarnya itu Helen Fisher yang mengatakan dari penelitian di bidang studi yang lain. Bukan aku yang menyimpulkan."

Kami terdiam beberapa saat.

"Pikirkan lagi, jangan terbawa hasrat sesaat," ujar Wu akhirnya sambal beranjak.

Kuraih ujung lengan kemejanya, "Wu, tapi saat itu aku sedang tidak birahi."

Wu menepuk pundakku. "Maaf aku tak bisa selalu ada buat kamu hingga membuatmu kesepian,"

Mataku terbelalak seolah Wu menamparku dengan perkataannya. Mungkin Wu benar, dalam situasi saat itu (saat pertama kali bertemu dengan Rere) aku membangun fantasi romansa dan menjadikan dia sebagai objek yang menemaniku saat aku merasa kesepian.

"Boleh rekomendasikan buku atau jurnal apa saja yang kau baca?"

Wu mengulas sebuah senyum, "Tentu, nanti kubuatkan list dari yang paling ramah dibaca oleh pemula, haha." Lalu dia melangkah keluar dari kamarku.

Aku tak mau dimanipulasi oleh fantasi yang mungkin saja dibangun otakku kembali. Setidaknya mungkin dengan cara membaca buku aku bisa menghapus rasa sepiku ketika tak ada seorangpun bisa kuajak bicara atau menemaniku.

Lagi-lagi aku sungguh bersyukur karena Tuhan mengirimkan Wu untuk menjadi penjagaku. Tidak harus selalu ada, hanya saja kuharap dia akan ada di saat aku membutuhkannya. Semoga intensitas butuhnya bisa semakin berkurang.


***

Semoga 2 chapter baru ini bisa menjadi wadah komunikasi kita lagi hehe..


Tak Ada Orang Gila yang Merasa Dirinya GilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang