AOU 1

16 4 0
                                    

Bunyi lorong lantai 4 sebuah gedung itu terdengar cukup ramai oleh tapak sepatu. Mahasiswa berlomba-lomba mengejar 2 lift yang tersedia di setiap lantai. Sebenarnya jika tidak hanya berfokus pada lantai 4, lantai lain juga sama persisnya. Riuh mahasiswa saling berbicara atau berlari mengejar lift yang hampir penuh, kemudian terpaksa mundur kembali dan berlari menuju tangga. Sebagian ada yang turun menuju lantai dasar dan sebagian lagi ada yang menuju ke lantai atas. Atau ada yang masih berada di lantai yang sama dan duduk di kursi-kursi yang telah disediakan pihak kampus sebagai salah satu sarana. Masing-masing punya jadwal seperti menunggu dan mengikuti kelas mata kuliah lanjutan atau sekedar santai dengan menikmati makanan kantin yang pada saat ini mungkin masih terasa hangat. Waktu sudah menunjukan pukul 10.00. Cafetaria cukup ramai karena bertepatan dengan jadwal mahasiswa yang baru keluar dari kelas mata kuliah.

"Lo ada matkul lagi nggak habis ini?" Perempuan dengan rambut terikat gelang berwarna hitam bertanya setelah beberapa kunyahan makanan di dalam mulutnya berhasil ditelan. Bakso daging sapi berisi 6 bulatan kecil dan 1 bulatan besar dengan isi telur rebus itu menjadi santap paginya setelah terakhir makan nasi di jam 10 semalam.

"Udah nggak ada. Hari ini jadwal kelas gue cuma satu." Perempuan yang ditanya melontarkan jawaban sembari mengaduk es jeruk di dalam gelas menggunakan sedotan.

"Yaudah ntar anterin gue belanja bulanan, dong. Kulkas gue udah kosong."

Mata mengangguk.

"Eh," Perempuan di depannya kembali bersuara setelah meneguk air mineralnya. "Gue juga pengen sambilan ngajak lho bantuin gue ya, Ta. Cari judul. Jujur dari kemarin gue udah bingung banget."

"Lo takut ditanya juga?"

"Iya," kata tersebut dijeda. "Gue juga bingung masalahnya. Keingat lo yang udah ditanyain sama PA lo tentang judul skripsi yang bakalan diambil, gue jadi deg-degan takut ditanyain juga sama PA gue. Bahkan yang jadwalnya selasa kemarin gue pengen konsul, nggak jadi."

"Kalau emang belum nemu, bilang aja masih dicari."

"Telat nggak sih kita belum dapetin judul sampai sekarang?"

"Nggak telat-telat banget menurut gue. Masih ada waktu, kok, buat mikirin itu."

"Iya, sih. Tapi-ah, udah deh. Makin puyeng aja gue rasa." Perempuan dengan nama Bereely-tapi sebut saja Beril- menumpu dagunya menggunakan punggung tangan. Dua sekon selanjutnya, jari-jari itu beralih memijit pelipis. Perempuan itu mulai merengek. "Mata, bantuin gue."

Mata terkekeh dan tangannya terulur menepuk pelan lengan sahabatnya. "Iyaa. Ntar kita cari bareng-bareng." Beril menoleh dengar bibir yang melengkung ke bawah. Terharu.

"Udah, ah! Jangan bertingkah kayak gitu. Gue tinggalin lo, ya."

Mata beranjak bersamaan dengan Beril yang baru saja mengemas totebag. "Tungguin, Ta. Ya ampun, dah, gue ditinggalin." Beril menyusul Mata yang sudah berada di depan stand Ibu kantin langganan mereka kemudian membayar dengan jumlah sesuai dengan pesanan mereka.

***

Sesuai janji, Mata mengantar dan menemani Beril berbelanja di super market, tempat mereka biasanya memenuhi belanja bulanan pengisi kulkas.

Mata dan Beril merupakan sepasang sahabat sejak menjadi masih Mahasiswa baru. Waktu itu, Mata dihukum oleh kakak tingkat dikarenakan perlengkapannya yang kurang. Padahal hanya karna karet ikat rambutnya yang berwarna merah dengan ketentuan yang seharusnya menggunakan ikat rambut berwarna hitam dihari kedua PPKMB. Itu murni kesalahan dia yang menganggap enteng kakak tingkat akan memakluminya.

"Kenapa nggak beli lagi di Uni-market sebelum acara dimulai? Alasan aja." Kakak tingkat itu bersuara ketus nan nyaring dengan penuh tekanan di kata terakhir setelah Mata mengatakan bahwa ikat rambut yang telah ia beli sebelum ke kampus telah hilang. Ia tiba di kampus saja saat Mahasiswa sudah mulai berbaris di lapangan. Akhirnya ia dipinjamkan ikat rambut berwarna merah oleh Gladis-sesama mahasiswa baru yang sadar jika Mata tidak mengikat rambut ditambah fakta bahwa Mata telah kehilangan ikat rambutnya. Gladis memberikan ikat rambut kepada Mata sebagai antisipasi untuk menghindari hukuman yang lebih berat dibanding tidak mengikat rambut.

ART OF UNDERSTANDING Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang