BAB 2

26 5 9
                                    

"Apa yang terjadi padamu, Dinda?" Tanya Dyah Gitarja pada adiknya itu saat puluhan anak panah yang Dyah Wiyat lepaskan dari busurnya selalu meleset dari sasaran. Tidak biasanya adik kesayangannya itu membidik anak panah dengan tidak mengenai sasarannya sama sekali. Meski seorang putri yang lemah lembut, Dyah Wiyat merupakan putri yang tangguh dan cukup pandai dalam memanah. Sejak kecil kakak beradik itu sudah dididik menjadi putri yang tangguh. Bahkan mereka juga diajari bela diri sehingga saat terjadi peperangan, setidaknya mereka bisa menjaga diri mereka.

"Huft…aku juga tidak tahu Yunda. Aku tidak bisa fokus hari ini," jawab Dyah Wiyat sembari meletakkan busur dan anak panah di tempatnya. Segera dia duduk di atas balai-balai yang tak jauh dari tempat mereka berlatih. Diambilnya kendi berisi air dan diteguknya hingga rasa hausnya terobati. 

Dilihatnya beberapa kendi kosong yang dipasang menggantung sebagai sasaran anak panah mereka, hanya terlihat beberapa saja yang pecah dan itupun tidak sempurna. 

"Apakah ada yang mengganggu pikiranmu Dinda? Tidak biasanya aku melihatmu seperti ini," tanya Dyah Gitarja dengan ekspresi penuh khawatir sambil menyusul adiknya duduk.

Dyah Wiyat hanya diam, dia tidak tahu harus menjawab seperti apa. Tidak mungkin dia mengatakan pada Yunda tersayangnya itu bahwa dia tidak bisa berhenti memikirkan tabib muda kerajaan yang ditemuinya tadi pagi. Ya, sejak pertemuannya dengan Ra Tanca tadi, dia  tidak berhenti memikirkannya dan selalu ingin bertemu dengan salah satu anggota Dharmaputra itu. Perasaannya ini muncul akhir-akhir ini.

Seharusnya dengan jabatan khusus itu mereka bisa saling bertemu. Namun kenyataannya, Ra Tanca hanya datang saat dibutuhkan jika ada penghuni istana yang sedang sakit. Jika tidak dibutuhkan di kerajaan, dia juga membantu warga kerajaan Majapahit yang sedang sakit. 

"Tidak ada apa-apa Yunda, hanya mungkin sedikit kelelahan saja," Jawab gadis berkulit bersih itu dengan tersenyum. 

"Baiklah kalau memang semuanya baik-baik saja. Tapi jika ada masalah, jangan sungkan untuk berbagi cerita dengan Yunda. Kita adalah saudara jadi harus saling membantu jika ada kesusahan atau kesulitan. Mengerti dindaku sayang?" kata Dyah Gitarja memeluk Dyah Wiyat. 

"Iya Yunda aku mengerti. Baiklah mari kita mulai latihan lagi. Kali ini aku akan mencoba untuk fokus dan bisa membidik dengan tepat sasaran," kata Dyah Wiyat dengan penuh semangat. Dalam hatinya dia berharap bisa bertemu dengan Ra Tanca lagi agar kegalauannya bisa terobati. Sepertinya perasaannya itu lebih dari sekedar teman atau atasan dan bawahan. 

Gadis cantik itu kembali berdiri dan mengambil busur panahnya. Dengan penuh konsentrasi, dia memelesatkan anak panahnya satu persatu dan berhasil tepat mengenai sasaran tanpa melenceng satupun. Dyah Gitarja tersenyum senang melihat adiknya yang mulai semangat lagi. Dia pun ikut memanah kendi bagiannya sendiri. Dyah Gitarja dan Dyah Wiyat menata sasaran memanahnya masing-masing. 

Selesai latihan, mereka segera kembali ke istana untuk membersihkan diri di pemandian kerajaan yang terletak di area belakang istana yang khusus digunakan untuk berendam dan pemandian raja, putri dan keluarga raja yang lainnya. Sesampainya di dalam istana mereka segera menuju ke pemandian untuk melepaskan penat setelah berlatih giat. Setiap hari mereka harus berlatih karena jika suatu saat perang terjadi, mereka sudah siap untuk membela diri mereka. Kedua putri bangsawan itu memasuki pemandian yang dikelilingi oleh pagar-pagar yang tinggi. Mereka disambut para dayang dan kolam luas di tengah bangunan yang airnya berkilau memantulkan cahaya mentari sore.  Setelah para abdi membantu kedua putri tersebut melepas kain hingga tersisa kemben penutup dada, keduanya menuruni tangga kecil menuju ke kolam yang terbuat dari bata merah besar. Dyah Gitarja memilih langsung memposisikan diri di tempat duduk yang terdapat di tepian kolam. Sementara itu, Dyah Wiyat masih berdiri sambil meregangkan otot tegangnya dan memandang kosong candi kecil di tengah kolam. Pikirannya lagi-lagi tertuju pada Ra Tanca.

Para abdi mempersiapkan segala kebutuhan para putri mahkota mereka dengan cekatan dan senang hati.

“Mari Tuan Putri,” sapa salah satu dayang kepada Dyah Wiyat yang masih asik dengan lamunannya.

Putri Raja Wijaya yang pikirannya melalang buana itu terkejut dengan sapaan lembut salah satu abdi dalem itu. Setelah kesadarannya kembali, dia langsung masuk ke dalam pemandian dan mempersilakan para abdi mulai membersihkan tubuh mereka dengan wangi-wangian bunga yang sudah mereka siapkan. Sementara itu, Dyah Wiyat mulai memikirkan bagaimana cara dia bertanya dan meminta pendapat kakaknya itu tentang perasaannya.

“Yunda, Dinda ingin menanyakan sesuatu. Bolehkah?” tanya Dyah Wiyat membuka percakapan keduanya.

“Boleh. Silakan Dinda” jawab Dyah Gitarja memandang adiknya dengan lembut.

“Ehm…..Bolehkah kalau aku mencintai orang biasa? Maksudnya orang yang bukan dari keluarga kerajaan ataupun ksatria?” tanya Dyah Wiyat sedikit ragu.

Kakak perempuannya itu sedikit terkejut dengan pertanyaan adiknya itu. “Apa kau mencintai seseorang dari kalangan orang biasa?” tanya Gitarja penuh selidik.

“Aku belum begitu tahu apa yang aku rasakan Yunda, tapi aku sering memikirkan orang itu dan ingin selalu dekat dengannya,” jawab Dyah Wiyat dengan sedikit malu. Ini adalah pertama kalinya dia merasakan hal ini.

“Kalau dalam kerajaan, pasti akan dilarang mencintai orang biasa karena kamu harus menikah dengan orang yang berasal dari kalangan keluarga kerajaan, bangsawan atau ksatria,” jawab Dyah Gitarja. Dyah Wiyat diam mendengar pernyataan kakaknya itu, karena dia sudah tahu bahwa hal itu pasti ditentang. Namun, siapa yang mengetahui rasa cinta kita akan berlabuh pada siapa.

“Apakah orang itu juga mencintaimu, Dinda Wiyat?” tanya Dyah Gitarja.

“Aku tidak tahu Yunda. Aku tidak pernah mengutarakan perasaanku begitupun sebaliknya. Tapi kami sudah dekat dan aku merasakan kenyamanan saat bersamanya,” kata Dyah Wiyat dengan tersenyum saat mengingat orang yang dikaguminya itu. Senyum manisnya dan tutur halusnya selalu terbayang di depan matanya.

“Bukankah banyak pemuda dari kalangan yang sama dengan kita sudah meminangmu?”

“Iya, Yunda. Tapi tidak ada satupun dari mereka yang memikat hatiku." 

“Tidak ada salahnya dicoba, lagi pula kau sendiri juga belum tahu apakah laki-laki yang kau cintai itu mencintaimu juga.”

Dyah Wiyat terdiam, dia tidak tahu apakah perasaan Ra Tanca sama dengan perasaan yang dirasakannya saat ini. Dia akan sangat bahagia jika tabib itu mencintainya juga.

“Entahlah, Yunda. Aku akan coba memikirkannya. Karena perasaan ini datang begitu saja.”

Mereka berdua sama-sama terdiam dengan pikiran masing-masing. Sambil menikmati pelayanan yang diberikan dayang-dayang setia mereka yang sedang membasuh dan menggosok tubuh mereka.

Setelah selesai dengan ritual mereka berendam untuk menyucikan diri, keduanya segera beranjak untuk mengganti pakaian. Sudah menjadi rutinitas mereka yang taat agama yang mereka anut yaitu agama Hindu-Siwa dan  budha, keduanya menyucikan diri setelah itu melakukan ritual ibadah mereka di tempat peribadatan anggota keluarga kerajaan Majapahit. Setelah mereka selesai anggota keluarga yang lain ikut bergantian untuk mensucikan diri di pemandian itu.


 

Tapak Cinta di Bumi MajapahitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang