Last Promise?

566 20 4
                                    

Batang pensil tak kuasa untuk kuhempas begitu saja dari pautan jari-jariku, Kupeluk kasap benda itu, tanpa berpikir akan berujung tertancap dan patah menjadi serpihan. Lalu terpisah begitu saja, berserakan di mejaku. Terus mencegah benih-benih yang akan jatuh lagi dengan menciptakan bendungan gelap di kelopak mataku. Namun aku kalah. Aku selalu kalah dalam pertarungan konyol ini -pertarungan yang tak seharusnya kulakukan -menanamkan rasa kebencian dari persoalan 'cinta'. Kini aku membenci kata itu, setelah aku tahu apa arti yang sebenarnya. Dia membuatku membenci segalanya, seakan lawan pemainku menjadi sasaran empuk. Ingin menerkam habis dirinya, tapi hatiku malah ikut tertekam. Semuanya hanya percuma.

Kuusap air mataku di depan meja rias. Pertanda buruk bagi penampilanku sekarang, diriku benar-benar kacau -dengan rambut Golden Blond yang dibiarkan berantakan mirip nenek sihir. Ditambah wajahku sembab, ini seperti salah memasukan mantra kemudian meledak mengenai seluruh mukaku -Semoga orang tuaku tak bertanya tentang kenapa, apa, dan kapan, karena seseorang yang sedang dalam masalah keluarga tak dapat menyelesaikan masalah percintaan remaja. Bila mereka memaksa, aku lebih memilih minggat dari rumah ini. Menjauh adalah pertahanan strategiku.

Tuk Tuk Tuk

Tak biasanya seekor burung kolibri mengetuk kaca jendela kamarku. Ingin berpartisipasi atas kesedihanku atau memohon agar diberikan setetes madu? Mungkin aku akan berbagi pada burung kolibri malang ini. Tapi aku tak punya madu. Biar kupikir lebih dalam lagi, burung kolibri tak seterusnya makan madu bukan? layaknya hidup tak seterusnya harus terasa menyenangkan. Maka setengah biskuit yang tergeletak di meja menjadi rasa ibaku pada burung malang itu. Kudorong keatas jendela yang sejak tadi menjadi penghalangku antara si burung kolibri.

Wush

Siliran angin terasa memadati jiwaku, cukup untuk mendinginkanku yang terus berdiam diri di kamar.

Burung itu mematuk-matukkan paruh runcingnya di permukaan telapak tanganku. Entah ada apa dengan burung yang satu ini, dia dapat menghentikanku bahkan lupa (walau hanya sekejap) terhadap masalahku tadi.

Tunggu sebentar, ada sesuatu yang terikat di kaki kiri burung itu.

Maafkan aku Ken, aku hanya sulit bagaimana caranya aku dapat tenang dan bebas.

Aku kenal tulisan ini. Tulisan seseorang yang selalu aku harapkan. Namun kadang aku juga berusaha berhenti mengharapkannya.

***

"Aku tak menganggap tulisannya bagus, tapi si kolibri itu. Bagaimana dia tahu alamat rumahku?"aku tertawa lepas di hadapan orang idiot. Sambil memainkan rating pohon dan mematahkannya menjadi beberapa bagian kecil.

"Kau selalu berbasa-basi dalam masalah ini."urai Emery. Gadis itu memiringkan bibirnya ketika aku menatapnya. Dia memang tidak mudah untuk ku beri sebuah dusta bodoh. "Lagipula aku tahu kok kau mencintainya kan?"lanjutnya lagi yang menguak seluruh isi benakku.

Aku tertawa jahat. "Setelah melihatnya bersama seorang perempuan?"Emery menatapku heran.

"Kau bercanda? Mereka hanya teman. Cemburuan sekali."tangannya memukul pelan bagian punggungku.

Sekarang ia membuatku jengkel. Ku lempar ranting pohon yang sudah sangat pendek ke arah jurang dangkal di hadapan kami. "Dia bukan pria yang patut kucemburui."kataku datar.

"Kau serius tukang bohong?"Emery tersenyum nakal, berupaya menggodaku.

"Aku bukan pembohong jadi aku serius."Aku membalas senyumannya.

"Ku harap kau dapat berpikir lebih luas lagi. Karena aku tak mau kau menyesal nanti."singkapnya tanpa ragu.

"Menyesal dengan pria munafik seperti dirinya? Tidak Emery. Aku punya pendirian yang kuat jadi aku yakin atas pendapatku."jelasku singkat diakhiri dengan senyuman terpaksaku.

Last Promise?⏩Calum Hood -OneShot-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang