Bagian 1 | Misi Baru

1 0 0
                                    

[SHOCK]

Tepat saat malam datang, hujan mengguyur negara Indonesia tepatnya kota Bandung, memberikan efek dingin yang membuat manusia berkaki dua enggan meninggalkan tempat berteduh. Tak terkecuali gadis ini sekarang, Angsana merengut. Baru pulang dari kantor, tubuhnya sudah disiram tumpahan air yang jatuh dari langit. Alhasil, baju yang ia kenakan kini basah semua, bahkan sampai ke bagian paling dalam. Kulitnya meremang, merasakan hawa dingin yang semakin lama kian menusuk permukaan tubuhmya.

Angsana gusar, sedari tadi ia terus menelpon asistennya yang berada dimansion. Namun, tak kunjung juga panggilan mautnya di balas. Mood sang gadis semakin buruk, tanpa berpikir panjang ia kembali menerjang hujan. Tidak peduli pada diri sendiri, toh semua pakaian nya sudah bahas. Hanya tinggal menunggu, waktu menjelang sakit. Dengan begitu, ia bisa izin berkerja.

Ya, semua sudah terencana. Semoga sesuai ekspetasi.

Angsana berjengit kaget, ia mendengar suara telpon berdering nyaring. Dengan langkah cepat, ia kembali berteduh seraya mengoceh pelan, kembali mengambil telpon genggam. Nama sang bos pekerjaan terpampang manis disana, seolah akan memberikan kabar baik. Mungkin kali ini, bosnya memang akan membunuh Angsana secara perlahan lewat tugas yang dia berikan. Angsana berpikir sejenak.

"Ya, Sir? Saya kehujanan. Anak buah yang anda berikan pada saya tidak mengangkat telpon, apa anda tahu?"

Angsana segera membanjiri omelan panjang sebelum sang bos bisa bersuara. Dapat didengar dari seberang sana, helaan napas panjang lelah, begitu kentara walaupun ada kekehan kecil. Berusaha menutupi rasa kesal, sebelum memecat anak buah tercinta, pikir Angsana.

Bos disana masih diam, mungkin mencoba mengatur napas atau menyusun kalimat yang pantas untuk Angsana. Gadis ini, bahkan berharap ia dipecat saja. "Kau dipindah tugas kan," tegas sang bos. Jemarinya mengetuk meja kerjanya, Angsana hapal sekali maksud dari ketukan itu.

Jangan membantah.

Tapi, ini Angsana. " Bulan ini, saya sudah 10 kali dipindah tugaskan." Angsana membalas tidak kalah tegas, memberikan sindiran kecil perihal perkerjaan menyusahkan ini. Sayangnya, ia tidak diperbolehkan berhenti atau keluar. Angsana menunggu balasan, hanya ada suara napas gusar diseberang sana. Mungkin karena dibantah, bos yang memberikan perkerjaan laknat mengalami serangan jantung? Angsana rasa, karma terlalu cepat datang padanya.

"Angsana, aku tidak menerima penolakan dari mu. Surat permohonan keluar juga, aku tidak menerimanya. Kau tidak dizinkan keluar, sebelum surat perintah dari atasan langsung datang pada ku. Cepat pulang dan mandi air hangat, jangan sampai kau sakit besok. Semoga malam mu menyenangkan, Little Girl."

Tut

Telpon diputus sepihak, meninggalkan ruam dalam dihati Angsana. Lagi-lagi ditolak, lagi-lagi menurut, lagi-lagi atasan. Orang bodoh mana yang melarangnya berhenti berkerja? Dan, siapa atasan yang selalu disembunyikan bos nya itu? Apakah ia punya kekuasaan lebih? Ah! Angsana lelah. Ia memandangi dirinya sendiri dikaca toko, hancur. Itulah gambaran pada siluet yang terpampang di kaca.

Bergegas ia pulang, menghentakan kaki sepanjang jalan. Memberi tahu semesta, dunianya sedang tidak baik-baik saja sekarang. Mungkin, jika pohon punya mata dan mendengar, mereka akan tertawa keras. Karena sedari tadi, gadis yang kini kebasahan terus mengajak pohon-pohon yang ia lewati untuk berbicara. Ralat—Angsana hanya ingin didengarkan. Bukan diperintah, layaknya anjing dan boneka. Bahkan, hidupnya sudah diatur.

Angsana benci. Hidupnya, kali ini.


°°[SHOCK]°°


"Aku pikir hujan sudah membunuh mu, Angsa!"

SHOCKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang