Sang Bintang

11 1 0
                                    

Di balai riung hotel bintang lima, bermandikan cahaya warna-warni lampu sorot, Paola Regina tengah menghipnotis ratusan tamu undangan dengan lagu terbarunya. Dibanding mereka, aku jauh lebih dahulu mengenalnya. Bukan sebagai penyanyi perempuan dengan penjualan album terlaris sepanjang masa, atau artis dengan rentetan iklan terbanyak di berbagai siaran televisi dan radio. Aku mengenalnya sebagai Gina. Hanya Gina.

Sudah sepuluh menit—mungkin bahkan lebih—aku memandanginya dari kejauhan. Rasanya seperti hanya ada aku seorang diri, berdiri menikmati lantunan suaranya. Kalau aku nekat menyapanya saat turun dari panggung, apakah dia akan mengenaliku? Aku tidak yakin dia masih mengingatku ... apalagi mengakui keberadaanku. Tidak apa-apa. Begini saja cukup. Begini saja, aku sudah puas.

"Oi!" Aryo membuyarkan perhatianku. "Ngelamun wae! Ayo, tugase numpuk, iki!"

"Iya, iya. Ini juga sambil ngumpulin piring kotor."

Berusaha tampak sibuk, aku langsung menjawab rekan kerjaku itu sekenanya, sembari mengambil benda apa pun yang pertama teraba.

"Oalah, piring kotor saiki bentuke tabung karo kerucut, yo."

"Hah?" Butuh beberapa detik sebelum aku menyadari sindiran Aryo. "Eh-ehehe ... maksudnya abis ini, Yok. Mau bagi-bagi trompet dulu, sama nawarin minum."

"Oooh, ya, ya, ya. Sip, deh. Nek wis, langsung balik belakang lho. Ojo sampek aku kudu mondar-mandir nyusul sini lagi."

Aku hanya membalas dengan mengangkat kedua ibu jari, lalu tersenyum lebar bak fotomodel majalah Aneka Yess! yang terkenal dengan jargon 'senyum tiga jari'. Sudah sampai didatangi begini, aku pun kembali melayani para tamu. Sesekali, tentu saja aku masih tidak bisa menahan hasrat untuk mencuri pandang ke arah panggung. Gina masih di atas sana, masih memukau para penikmat musiknya.

Empat jam berlalu, jarum arloji di pergelangan tanganku sudah menunjuk angka sebelas. Pesta akhir tahun nan meriah pun berakhir sudah. Para tamu undangan yang sempat memadati balai riung pun berangsur pergi, meninggalkan kekacauan di hampir setiap sudut ruangan ini. Setidaknya, usaha kami untuk memuaskan mereka tidak sia-sia. Kini, mereka diarahkan untuk berpindah ke atap gedung. Perayaan kembang api akan dimulai tepat pukul dua belas.

Timku yang selalu sial dalam pengundian tugas, mendapat kehormatan tambahan sebagai penanggung jawab kebersihan. Beruntung, ketua dan para senior bisa dengan mudah meloloskan diri. Mereka pulang lebih awal dengan dalih berkumpul bersama keluarga. Sedangkan Aryo, yang seharusnya lembur berdua denganku, mendadak harus ke rumah sakit karena istrinya melahirkan. Memang hanya aku—si lajang malang—saja yang selalu tersedia.

Berada di tengah hiruk-pikuk selama berjam-jam itu sangat menyiksa. Aku benci keramaian. Tetapi ... sendirian begini, di saat kebanyakan orang sedang bersenang-senang dengan manusia favorit mereka, juga tidak kalah menyebalkan. Ah, sudahlah. Sebaiknya segera kuselesaikan kewajiban yang sejak tadi terus mencari perhatian ini. Mari secepatnya pulang dan tidur.

Sebagai teman supaya tidak terlalu lengang, kubuat daftar panjang yang seluruhnya berisi lagu-lagu Gina. Sambil membereskan meja dan kursi, sesekali aku bersiul dan bersenandung mengikuti alunan musik dari ponselku itu. Kedua kaki pun ikut tergerak untuk berputar ke kiri dan kanan dengan lincah. Sampai di satu titik, seseorang mengejutkanku dari belakang.

"Eh, sori, sori." Gina buru-buru meminta maaf begitu melihat tanganku sibuk menangkap beberapa botol kosong yang terlepas dari cengkeraman. "Sini, aku ban—"

"Jangan!" hardikku. Seketika itu juga langkah Gina terhenti. "A-anu, sori, m-maksudnya itu, nanti tanganmu kotor. Udah, biar aku aja, Gin."

Aduh! Aku kelepasan menyebut namanya dengan sok akrab. Gina berjalan semakin mendekat ke arahku dengan senyum lebar di wajahnya. "Kayak sama siapa aja sih, Tom. Dulu juga kita biasa lembur berdua gini, kan?"

SelebrasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang