Mv : Bab 13

17 7 6
                                    

there's no point in hiding anymore

***

"Papa Meira dipenjara karena orang tua Marella," sahut Haudra dari belakang Emma membuat ketiga mata tertuju pada perempuan tersebut. Emma cukup terkejut dengan pernyataan itu, tetapi alasannya belum jelas kenapa. Mavannah masih mencerna kalimat itu. Rasanya berat sekali untuk bisa percaya, tetapi ia harus mengetahuinya.

Haudra duduk di sebelah Emma, perempuan itu juga sebenarnya tidak tega untuk memberitahukan tadi, hanya saja melihat perlakuan Meira barusan membuat menjadi tidak percaya lagi yang namanya teman baik.

***

"Baiklah, kurasa permainanku hampir ketahuan. Tapi, tidak salah kan jika aku mencoba membunuh Haudra karena ia tidak bisa menjaga rahasia kami. Lelaki pengecut itu juga benar-benar menghancurkan rencanaku. Tetapi Mavannah benar-benar membantuku saat pertama kalinya. Hahaha. " Gadis tertawa kecewa sambil menggoreskan kaca menggunakan cutter yang sama seperti di TKP. Tatapannya terlihat sinis sambil menatap keempat orang itu. Ruangan yang lembab membuat suasana di sana semakin mencekam. Entah ruangan apa itu, yang pasti tidak digunakan oleh orang lain lagi.

"Pisau yang manis ini! Kenapa tidak ada yang menyadarinya jika ini milik Marella!" Cutter yang barusan dipuji kini dihempaskan hingga patah. Ia berharap semua orang berpikir Marella bunuh diri bukan dibunuh.

Tangannya mengeluarkan sisa permen karet. Ia terlihat bodoh amat saat keluar dari ruangan tersebut.

***

Pertama kali Mavannah mencurigai Meira adalah ketika Meira mengikutinya setelah kejadian pembunuhan itu. Melihat Meira mempercayai dirinya, ia tidak punya alasan untuk saling menuduh. Tidak pernah terpikir macam-macam mengenai Meira. Bagi Mavannah, Meira merupakan teman pertama kali dan penyelamatnya karena sudah mencegahnya sebagai tersangka.

Bersama Meira, Mavannah merasa dirinya bisa menemukan yang namanya pertemanan. Ia yang semula terkurung dengan ketidakyakinan akan sekolahnya, bisa dengan tegar menerima semua peraturan yang ada. Mulut cerewet Meira membuat Mavannah bersyukur bisa mendengar seseorang yang berbicara banyak kepadanya.

Setidaknya itu sebelum Mavannah tahu seberapa buruknya orang yang dianggapnya teman itu.

Meira yang selalu bilang akan terus berbicara dengannya, nyatanya memilih saling berjauhan. Walaupun Mavannah sudah menduganya tetap saja ia masih menghargai Meira. Dirinya hanyalah tameng, hanya tinggal menunggu waktu di mana Meira akan menggunakannya, mungkin dengan cara mendorong atau malah ... menusuknya dari belakang.

Gadis itu memang tidak kenal gender apa pun untuk saling menjatuhkan. Mavannah sudah sadar sejak Meira mencoba menuduh dan menjadikan yang lain tersangka. Di balik wajahnya yang selalu emosi tentang kasus ini, Meira terlihat seolah sudah merencanakan semuanya dari awal.

Haudra dan Sean sempat berpisah, Jesy mengalami sakit karena tuduhan Meira, namun Meira begitu tenang dan tidak peduli dengan semua itu. Seolah dia sudah memperkirakan semuanya.

Saat itu Mavannah berusaha berpikir kalau Meira orang yang tenang dan mungkin saja dia sadar karena terlalu meluapkan emosi sehingga harus bisa kendalikan diri agar tidak membawa suasana semakin mencekam waktu itu. Namun, Mavannah dibuat salah fokus dengan bukti yang ia temukan merujuk ke Meira. Mavannah mengembuskan napasnya yang entah sudah kesekian kalinya.

Dari semua teman-teman yang dikenalnya mereka sudah pernah dituduh oleh Meira. Yang tidak pernah dilihat oleh Meira tentang Mavannah adalah justru detailnya lelaki itu dalam menyelidiki. Meira terlihat tidak peduli ketika tahu Mavannah mengenal salah satu karyanya, karena kemungkinan gadis itu juga mengetahui naskah milik Marella.

Mavannah :  Let Me In [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang