Mv : Bab 14

14 7 1
                                    

"No one cares about me, even if they know the truth."

***

Darah segar membasahi bagian bawah rok Meira. Gadis itu mengerang nyeri sembari menekan lukanya. Baru pertama kali ia terkena tembakan, ternyata rasanya menyakitkan sekali. "Jangan bergerak atau peluru ini akan bersarang di dadamu juga."

Mendengar suara itu Meira menolehkan kepalanya dan menemukan Mehova, kakaknya sendiri. Dirinya tidak percaya jika kakaknya setega itu menembakkan peluru padanya. "Kamu tersenyum?" Mehova tidak percaya saat melihat senyuman di bibir Meira.

"Permainanmu sebentar lagi selesai, adikku yang manis."

"Bukankah ini berlebihan, kak?" Meira mencoba mengangkat kepalanya, tidak peduli darah itu mengalir terus menerus. Dia tetap santai mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ia melihat teman-temannya sedang menceritakan semuanya kepada Brigjen. Haudra hampir saja pingsan. Jesy dengan telaten mengobati luka di rahang Haudra.

"Kakak bawa enam orang polisi lainnya ke sini. Apa aku seberbahaya itu?"

"Tapi setidaknya kamu tidak bisa lari sekarang, kan" Mehova tersenyum sinis. Ia mengangkat adiknya itu. Ingin sekali menarik pelatuk ke arah kaki satunya Meira. Yang lebih tua sudah terlalu geram dengan Meira.

Beberapa waktu lalu, Mehova kedatangan Sean dan Mavannah yang terlihat panik. Polisi itu masih menginterogasi Jesy karena tuduhan Meira, di sana Jesy terus saja mengelak dengan semua itu. Sebelum kedua lelaki itu datang, para polisi sebenarnya sedang mencari sosok Haudra. Namun, ponsel perempuan tersebut tidak aktif. Karena suasana sekolah perlahan mulai sepi, para guru seni mulai memindah para murid yang tampil untuk latihan di Balai Kota.

Mehova bersyukur bisa bertemu Sean. "Kalian melihat Haudra?" tanyanya tidak kalah panik, karena Haudra tidak bersama kedua lelaki tadi. Sean yang mendengar itu hanya menggeleng dan mengatakan kalau mereka juga sudah mencari Haudra ke seluruh sekolah. Seluruh lantai sudah mereka cari dan taman kelas juga, bahkan pak Dito kembali membuka pagar setiap lantai untuk mengecek ulang, tetap saja hasil nihil. Namun, entah kenapa Meira bisa membawa Haudra untuk saling bertemu.

"Permisi, aku melihat Haudra dan Meira berada di dekat taman kelas!" teriak Emma cukup nyaring sambil berlari mendekat, bersamaan dengan itu Kyle muncul dengan seorang petugas kebersihan yang ternyata membawa semacam sarung tangan.

Mehova segera menyuruh anak buahnya naik ke atas dan mempersiapkan persenjataan mereka. Sean dan lainnya ikut menyusul di belakang para polisi. Dari situlah mereka melihat Meira hampir menggoreskan mata pisau ke leher Haudra. Untung saja Mehova segera bergerak cepat, meski harus terpaksa melontarkan peluru ke kaki Meira.

Mavannah bisa melihat raut wajah Mehova yang kebingungan. Mehova mengatakan dengan pelan kalau dirinya masih bingung, rasanya tidak masuk akal jika Meira lah dalang sebenarnya. Dengan hati-hati Mehova membawa Meira duduk di kursi taman.

Diberikannya lah pistol tadi ke salah satu polisi. "Ada apa denganmu, Mei? Sampai harus seperti ini. Kakak merasa kasihan mendengar semua penjelasan dari teman-temanmu ini, bahkan semua bukti merujuk padamu, Mei." Napas Mehova tertahan sebentar, berusaha keras menahan gejolak emosinya. Ia kemudian berjongkok melihat kaki Meira yang sedang diperban.

"Memang kamu peduli sama diriku ini?"

"Apa?"

"Apa kamu pernah peduli sama adikmu sendiri?"

"Maksudmu apa, Mei?"

Meira tersenyum puas mendengar kakaknya yang entah pura-pura tidak tahu atau beneran tidak mengerti. "Sudahlah lebih baik sekarang kamu tangkap aku. Bersikaplah layaknya polisi, bukan seperti keluarga. Nih, ayo borgol aku." Bahkan tanpa perlawanan, dengan santainya perempuan itu malah menyodorkan kedua tangannya.

Mavannah :  Let Me In [Terbit✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang