5

167 40 16
                                    

Bukan ini yang dikehendaki Himawari, si gadis kecil menanti kepulangan ayahnya dengan syarat dalam kondisi baik-baik sahaja. Namun, kekacauan akal terpaksa merongrong sedemikian rupa, tidak membebaskan dia barang sedikit lagi untuk bisa pulang dengan tenang. Kabar buruk yang menyapa pendengaran, telak mengikis senyum manis di bibir di antara tawa jenakanya bersama teman-teman sepantaran di sekolah.

Turun dari taksi, Himawari berlari tergesa-gesa memasuki rumah sakit. Lantai berapa, ruang berapa, informasinya telah dia rekam dalam ingatan. Napasnya tersengal-sengal usai memperpanjang langkah terakhir untuk mengambil tempat di kotak lift yang kebetulan tepat terbuka. Dia menyandarkan pundaknya ke dinding elevator, tak menghiraukan pasang-pasang mata yang memandang heran.

"Maaf, maafkan Saya--maaf," terus-menerus dituturkan kala tubuhnya terpaksa menubruk orang-orang yang ingin bergantian masuk ke dalam lift. Embusan napasnya berat terbuang, memacu tungkai-tungkainya tak sabaran demi bisa segera melihat sosok ayah tersayang. "Kelas A-4C," dirapal ulang untuk memastikan bahwa dia tak salah kamar, "Papa!" Sontak dua kepala di sana menoleh berbarengan.

"Hima--"

"Apa yang terjadi?!" Belum tuntas ayahnya menanggapi, dia sudah menerjangnya dengan pelukan. "Bisa-bisanya pulang dalam kondisi mencemaskan." Tidak, dia tidak merengek. Tapi, suaranya yang teredam itu kentara bergetar.

"Papamu perlu meminum obatnya, Nak." Lalu, terekspos pula matanya yang berkaca-kaca dan sisa tangis di pelupuk. "Jangan menangis, ibu juga akan panik jika sakitnya parah. Keadaan ini hanya menegaskan agar Papa mau meluangkan waktunya untuk beristirahat lebih sering.

"Papa benar-benar tidak apa-apa?!"

"Kelelahan, salah makan dan tidak cukup tidur." Ibunya yang menjawab keresahan itu.

"Papa pergi ke luar kota untuk mendapatkan semua kesengsaraan itu? Sebaiknya tidak perlu pergi lagi, minta kepada mereka agar menggantikan Papa."

"Tidak mungkin menyalahkan orang lain untuk musibah ini, Hima. Lagi pula, dokter mengizinkan Papa pulang besok pagi. Kerja keras bukan hal baru bagi banyak orang, sedikit merasakan sakit dari efeknya tidak akan menjadi masalah besar."

"Papa bercanda?! Apa dirawat di rumah sakit bukan suatu masalah?"

"Tidak, Nak. Ini ujian, teguran supaya Papa bisa memanfaatkan waktu untuk bersantai--berikan obatnya, Sayang." Dua butir tablet datang ke mulut Naruto disusul segelas air putih yang langsung dia teguk dari gelas di pegangan istrinya. "Jadi, bagaimana dengan perjanjian kita? Apa saran Papa dijalankan?"

"Aku selalu mendengar gagasan Papa, sekarang--aku berteman dengan mereka."

"Berita bagus, seperti yang Papa harapkan." Naik lagi tapak besarnya untuk menyapu halus rambut Himawari. "Mereka tidak menjahatimu?"

"Tidak. Justru mereka terlalu baik padaku."

"Lihat 'kan? Akan kelihatan bila dari awal mereka hanya berupaya mempermainkanmu. Bertemanlah dengan siapapun, selagi ada kebaikan yang dapat diambil."

"Aku tahu."

"Lalu, buat apa murung lagi?"

"Aku ingin tidur di sini menemani Papa, boleh?!"

"Kau tidak mau menginap di rumah nenek satu malam?"

"Biarkan aku di sini, Papa."

"Ya sudah, Papa tidak ingin melarangmu--kau sudah makan?"

"Belum."

"Itu kesalahan. Tidak bertanggung jawab jika sengaja melambatkan waktu makan, ini hampir jam dua."

"Hima--kenapa kau belum makan, Sayang?" tambah ibunya pula.

"Tidak sempat, Ma. Aku mau cepat-cepat mengetahui kondisi Papa." Detik itu juga Hinata mendesah rendah, "Cuci tangan dan mukamu, Mama akan siapkan makanannya. Nenek membawa banyak kudapan manis juga bubur."

"Aku tidak mau makan bubur, itu makanan Papa." Naruto tergelak ringan sembari mengamati gerak-gerik putrinya.

"Daging panggang tadi, biarkan Hima yang memakannya, Sayang. Kurasa lambungku belum bisa menampungnya."

"Dia akan tetap memakannya tanpa kita menawarkan," guyon Hinata main-main selagi dia membongkar kotak bekal bertingkat di atas nakas. "Sekalian kau juga makan, ya. Mumpung buburnya masih hangat."

-----





PAPA (Comission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang