Aku terbangun dari tidurku karena suara denting piano. Mataku mengerjap berulang seiring merasuknya melodi-melodi itu ke dalam hatiku. Aku seolah merasakan emosi yang ingin disampaikan si pemain, juga pesan yang ingin dihantarkan oleh isi musik itu sendiri.
Pada akhirnya rasa penasaran menarikku berdiri dari posisi duduk. Kubawa langkahku maju hingga batas pemisah antara ruang seni musik dan ruang seni lukis.
Dari kejauhan, mataku menangkap punggung seorang gadis yang duduk menghadap piano. Aku menatapnya lama, hingga tatapanku teralihkan oleh suara tepukan yang berasal dari ambang pintu ruang seni.
"Berlatihlah sesukamu sampai jari-jari tanganmu patah," seru seorang gadis dari ambang pintu.
Detik itu pun detingan piano yang dimainkan terhenti. Gadis itu berdiri lalu menunduk dalam.
"Bersikap tenanglah, Ika. Aku kemari hanya ingin memberikan sepatu baru untukmu," ujar gadis yang sejak tadi berdiri di ambang pintu.
Perlahan tapi pasti, gadis itu melangkahkan kaki dan duduk di kursi yang sebelumnya diduduki oleh Yulaika.
Gadis itu meletakkan paper bag berisikan sepasang sepatu di atas piano tersebut. "Pakailah sepatu ini saat aku mengikuti lomba sore nanti," titahnya sembari tersenyum licik.
Gadis yang sejak tadi menunduk hanya mengangguk. Percakapan usai, salah satu dari gadis di ruang seni itupun pergi.
Gadis yang sedari tadi menunduk dalam akhirnya menoleh ke arah piano sembari menangis tanpa suara. Ntah apa penyebabnya, tapi ia benar-benar hanyut dalam tangisannya sehingga tak sadar bahwa dirinya tak sendiri di dalam ruang seni ini.
Gadis itu pergi membawa paper bag yang diberikan gadis sebelumnya.
Aku mengambil tas yang berisikan alat lukisku. Aku mengikuti gadis itu sampai di sebuah kelas.
"Ruang 101," lirihku.
Aku segera pergi menuju kelas. Setibanya di kelas, aku mengeluarkan alat lukisku. Aku mulai melukis di kanvas putih, sembari mengingat gadis yang aku lihat di ruang seni musik.
Sebenarnya kelas sudah berakhir sekitar dua jam yang lalu. Namun, aku memutuskan untuk menenangkan pikiran sejenak di ruang seni.
"Irsyad," panggil seseorang tertuju padaku.
Aku menoleh saat ada seseorang memanggil namaku. Ya, namaku Irsyad Abyasa Shankara.
"Kau tidak mengikuti lomba?" tanya temanku dengan nada serius.
"Malas."
"Padahal kau pandai dalam melukis."
Aku terdiam. Aku berfikir sejenak, sampai akhirnya aku memutuskan untuk bertanya sesuatu soal kejadian yang aku lihat saat di ruang seni.
"Apakah kau mengenal salah satu pianis di kampus ini?" tanyaku pelan.
"Beberapa," jawabnya.
"Jika aku menyebutkan ciri-cirinya, apakah kau bisa mengenalinya?" tanyaku selanjutnya.
"Coba saja sebutkan, mungkin aku mengenalinya."
"Tingginya kurang lebih sepundakku, rambutnya terurai panjang, kulitnya lumayan putih, sepertinya dia tak terlalu aktif dalam organisasi dan sepertinya ia takut kepada Ghyna," ujarku menjedanya.
"Kau mengenalnya?"
"Pasti penampilan sederhana," tebak temanku.
"Bisa di bilang begitu."
"Pasti Yulaika Ina Sasmaya, anak prodi bahasa inggris," ujarnya.
"Kamu mengenalnya dengan baik?"
"Nggak, hanya saja aku tahu. Dia sebenarnya di pilih pembina seni musik untuk mewakili prodinya di perlombaan yang di adakan sore ini, tapi ntah mengapa dia menolaknya. Padahal dia sangat pandai bermain piano," jelas temanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melodi Seorang Yulaika [ Selesai ]✅
Short Story"Bisakah aku duduk disana?" tanyaku pelan sembari memandangi panggung yang megah dari kajauhan. Cerpen yang menceritakan kisah seorang gadis bernama Yulaika Ina Sasmasya. Gadis sederhana dengan mimpinya untuk menjadi seorang pianis. Tanpa disadari...