01.

21 12 30
                                    

Nikara Langit Jingga.

Gadis yang selalu terlihat ceria setiap harinya, walaupun masalah datang bertubi-tubi dalam hidupnya. Ia tersenyum saat ini di hadapan cermin, menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga. Entah, menurutnya ia punya wajah yang labil, atau hanya perasaannya saja? Kadang ia terlihat sangat cantik di hadapan cermin, tak jarang juga ia merasa bahwa wajahnya buruk sekali, seperti tidak pernah mandi ribuan tahun.

Menjadi anak sekolah memang banyak sekali kegiatannya. Apalagi, menjelang kelas dua belas. Tapi, itu berlaku hanya untuk mereka yang ambisius. Menurut Nikara, sih. Jangan heran kalau sekarang gadis ini masih santai di dalam kamarnya.

Jam masuk sekolah tepat pukul tujuh, sudah dipastikan ia terlambat karna masih asyik merias diri di hadapan cermin.

"Ra, udah siang lho!" Tegur Kiran, selaku Ibunya.

Nikara menoleh melihat jam dinding yang sudah menunjukan pukul 06.45. Dan, lagi. Jarak Rumah ke Sekolah itu memakan banyak waktu. Gadis ini malah tersenyum kikuk, "Iya, ini mau berangkat kok, Mah."

Setelahnya ia bergegas pamit kepada Kiran. Lalu, berjalan sebentar untuk sampai ke sebrang jalan dan menunggu angkutan umum. Lima menit menanti, ia sudah berada di dalam angkutan umum saat ini, duduk berdesakan dengan orang-orang yang juga punya kegiatan tentunya.

Tapi, Nikara heran. Kenapa mereka keluar sepagi ini? Memangnya tidak bisa siang hari saja? Apa mitos rejeki di patok ayam itu benar adanya? Dan, kenapa jalanan macet setiap pagi? Sedang apa orang yang berada di paling depan?

"Cabe tuh mahal ya sekarang, Bu."

"Bener, sekarang tuh apa-apa serba mahal. Apalagi BBM mau naik juga katanya,"

"Wah, kalau gitu. Harus beli sepeda dong kita."

Begitulah, percakapan yang Nikara dengar di hadapannya. Banyak sekali suara-suara yang cukup mengganggu, di luar sana klakson kendaraan saling bersautan. Tapi, itu sudah menjadi rutinitas.

Sekitar dua puluh menit berlalu, ia sampai di depan gerbang Sekolah yang sudah terkunci. Sepertinya di dalam sana, kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.

Nikara sedikit meneriaki seseorang yang ada di dalam pos. "Pak! Pak Danu!"

Pria yang disebut itu keluar dari dalam pos, melihat gadis yang ia kenal memintanya untuk membuka pagar. "Eh, neng Kara. Jam berapa ya ini?"

Nikara terkekeh, "Ini yang terakhir deh, Pak. Saya gak akan telat lagi,"

Pak Danu ikut terkekeh sembari menggelengkan kepalanya, ia sudah membuka pagar itu dan membiarkan Nikara masuk. "Dari hari ke hari kamu teh bilangnya gitu terus, Bapak mah udah biasa atuh neng Kara, kan tadi cuma nanya jam aja. Hehe,"

"Ah si Bapak," Kesalnya di buat-buat, ia membuka tas dan mengeluarkan isinya. Satu kotak bekal yang ia siapkan untuk Pak Danu. "Nih, Pak. Nasi goreng buatan Mamah saya terenak sedunia, gak ada yang bisa ngalahin." Katanya, "Dimakan, ya. Awas ketagihan!"

Pak Danu meraihnya dengan senyuman senang, ini bukan kali pertama Nikara membawakannya bekal dengan menu yang berbeda, dan berkata bahwa masakan sang Ibu adalah masakan paling enak di dunia ini.

"Tapi, ini bukan sogokan, ya!" Celoteh Nikara, ia ikhlas memberinya karna ingin membantu Pak Danu. Pak Danu ini sudah berumur, beliau tinggal berdua saja dengan cucunya yang masih SMP.

"Iya, neng. Bapak mah terima aja, seneng. Masakan Ibu kamu teh emang enak euy, tiada tanding ini mah. Makasih, ya. Nanti siang Bapak makan, soalnya tadi udah sarapan nasi uduk."

Nikara memberi hormat, "Siap! Makasih udah buka gerbangnya." 

"Terima kasih, sama-sama. Semangat belajar neng."

Kisah Dua DuniaWhere stories live. Discover now