1

3 0 0
                                    

"Selamat Pagi, Hani." Gadis itu tersenyum kepada Ibu Retno saat tak sengaja melakukan kontak mata.

"Pagi juga Bu Retno. Pagi-pagi udah sibuk saja, nih." Ibu Retno tipe wanita paruh baya yang sedang menikmati masa tuanya, anaknya sudah menikah, suaminya sudah pensiun, begitu pula Bu Retno.

"Iya, cucu Ibu mau datang hari ini, jadinya harus masak dulu," mata Bu Retno menyipit bahkan terlihat seperti bulan sabit saat menyebutkan cucunya. "Tapi ternyata masaknya malah kelebihan. Jadinya buat Neng Hani saja, untung Ibu keburu, takutnya Neng Hani nya sudah berangkat kerja."

"Wah, terima kasih Ibu. Jadi enggak enak saya."

"Enggak usah begitu. Neng Hani sudah Ibu anggap anak sendiri," Bu Retno mengibaskan tangannya enteng. "Sudah mau berangkat kerja, ya? Makanan taruh kulkas dulu berarti, biar sepulang kerja nanti bisa dipanaskan."

Hani makin tersenyum atas perhatian yang Bu Retno berikan. "Baik Ibu. Terima kasih sekali lagi, ya."

Yang direspon tawa renyah dari Bu Retno. Setelah kembalinya Bu Retno ke unitnya, Hani kembali membuka pintu unitnya yang baru dia kunci tadi, menaruh makanan yang diberikan Bu Retno ke kulkas seperti apa yang dikatakan Bu Retno.

Tetangga yang ramah sepertinya masuk daftar bagaimana sempurnanya hidup Hani, setelah pindah ke unit apartemen yang baru pastinya, menyusul pekerjaan yang stabil, tempat tinggal yang nyaman, juga kekasih yang selalu menjadi embel-embel bagaimana sempurnanya hidup Hani. Baru genap dua bulan Hani pindah ke unit baru, dipertemukan dengan Bu Retno yang sedikit menggantikan peran 'Ibu' bagi Hani.

Terbiasa hidup sendiri sedari kuliah, membuat Hani sedikit lupa bagaimana hangatnya perhatian dari seorang Ibu. Setelah kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuanya, lalu meninggalkan Hani seorang anak tunggal yang tidak pernah tahu tentang kerabat mereka.

Suara dari lift menandakan jika Hani sudah di lobi berbunyi dan pintu yang terbuka otomatis itu memperlihatkan pemandangan lobi dengan beberapa orang yang sedang sibuk dengan diri sendiri, tapi bisa disimpulkan mereka semua sama seperti Hani, orang-orang yang memiliki keseharian di pagi hari untuk berangkat kerja.

"Halo." Hani berjalan menyusuri lobi sambil menyambungkan telepon dengan Julian, kekasihnya.

"Nanti kamu ada waktu, ‘kan sehabis pulang?"

"Selalu. Memangnya aku bakal kemana biasanya sehabis pulang?"

"Haha. Bagus, bagaimana kita coba resto seafood baru buka yang sering kamu bicarakan itu?"

"Sounds good, tapi Bu Retno tadi abis kasih makanan, dan cukup banyak untuk aku sendiri. Gimana kalau kita bawa pulang saja, makannya di rumah?" Hani berhenti sejenak saat melewati kotak pos unit yang ada di lobi.
Melirik kotak yang bernomor unit miliknya ada sesuatu menyembul, membuat Hani berhenti dulu, menjepit handphone diantara telinga dan pundaknya, mengambil beberapa surat yang ada di sana, dan langsung menaruhnya di tas tanpa melihat satu persatu surat apa saja.

“Boleh deh, sampai ketemu nanti.”

Saat memasuki mobilnya, hal yang pertama kali Hani lakukan adalah menyalakan radio, mendengarkan siaran pagi yang biasanya selalu dia dengarkan. Membawa mobilnya keluar dari pelataran parkir apartemen, dan bergabung dengan kendaraan lain di jalanan, akan menghabiskan 20 menit untuk sampai ke kantornya.

“Pagi, Hani. Sudah sarapan?” Saat baru sampai di kubikelnya Hani disambut dengan susu vanila yang biasanya dia beli di kantin kantor.

“Pagi juga, Ren. Ada apa nih? Tumben banget, pasti ada mau nya, 'kan?”

“Astaga. Enggak gitu, memang lagi ke bawah tadi, terus keinget lo, sekalian saja gue beliin lo susu vanila.” Rena kembali ke kubikelnya yang terletak di seberang persis dari kubikelnya Hani.

The Letter Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang