JERITAN NIRWANA

2 0 0
                                    

Di tengah hiruk pikuk kehidupan kota, jejeran mobil dengan klakson yang memekakkan telinga, dan para pedagang yang asik kucing-kucingan dengan polisi pamong praja. Beberapa orang berada di warung kopi, dan beberapa lagi berjalan menuju sebuah gang kumuh berpenerangan sangat redup di ujung jalan. Memasuki sebuah rumah hingga suara ingar-bingar musik, tawa, dan racauan memenuhi pendengaran.

Di sinilah aku berada, di bawah naungan selimut merah darah, menahan isakan meski air mata terus berjatuhan. Kulirik jam di dinding yang sedari tadi menjadi pengiring, 'pukul 2 malam.'

Tanpa menunggu aku melangkah menuju pintu keluar sebelum sebuah suara menghentikan gerakanku di knop pintu.

"Nirwana, aku sudah mengirim uangnya pada ayahmu." Satu kalimat yang kusesali harus masuk ke dalam indra pendengaranku, aku cukup menghirup napas panjang dan menjawab, "Iya Tuan, terimakasih."

Hina dan menjijikkan, itu yang kurasakan pada diriku sendiri. Takdir mempermainkanku sebegitu hebatnya, membiarkanku hidup bersama orang-orang yang tak memedulikanku, bahkan tidak pula harga diriku.

"Na, aku ada sedikit uang. Pergilah dan cari tempat tinggal, kamu juga bisa membeli buku untuk belajar tanpa khawatir ayahmu akan merobeknya lagi." Suara syahdu itu kembali terngiang diingatanku. Aku menatap lembaran merah di genggamanku, kemudian meremasnya.

Hanya Luna yang tahu seberapa sakitnya menjadi diriku, umurku baru 18 tahun dan sungguh mereka tak memedulikan itu. "Kalau saja kamu masih dicsini, Luna." gumamku. "Setidaknya ada satu alasan untuk aku tetap hidup di dunia ini."

Luna telah pergi ... untuk selamanya. Semua karena ayah ... tidak, semua karena aku. Aku terlalu menginginkan pendidikan, aku tak ingin sekadar menjadi wanita hina yang bodoh, setidaknya jadilah wanita hina yang pandai. Itu yang kupikirkan.

Aku hanya dapat berbaring bersama kenangannya sambil merenungkan apa semua akan terus begini?

****

Aku terbangun dengan tubuh lesu, seperti biasa. Aku menurunkan pandangan ke arah genggamanku, ternyata aku tertidur sambil menggenggam uang dari Luna. Aku terlalu merindukannya.

Tok! Tok! Tok!

Mataku beralih pada suara di balik pintu, "Nirwana, kamu sudah bangun?" aku terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

"Ayah dan yang lain sudah menunggu di meja makan," ujarnya.

"Aku segera menyusul," jawabku tanpa mendengar jawaban lain dan segera berjalan ke arah kotak kecil di atas meja rias guna menaruh 'kenangan' Luna.

Aku segera menuju meja makan begitu siap. "Pagi Ayah," sapaku yang dibalas senyum hangat dan usapan lembut di puncak kepalaku.

"Bagaimana semalam?"

Aku yang baru saja memegang sendok dan garpu seketika membeku mendengar perkataan ayah. Perlahan mataku menatapnya dengan senyum tipis yang kubiarkan tersungging sebelum menjawab, "semua berjalan baik, Ayah."

Senyum merekah diiringi kekehan riang terdengar, aku hanya kembali tertunduk dan fokus dengan makananku.

"Ayah sudah tahu, Tuan Bram tertarik padamu. Bukankah dia sangat baik?" tanya ayah yang kembali membuatku membeku, bukan hanya aku tapi semua penghuni ruang makan ikut menatapku. Aku hanya menyunggingkan senyum sebagai persetujuan, dia memang sangat baik.

Selesai dengan acara makan aku beralih ke dapur untuk mencuci peralatan makan yang baru saja digunakan, aku terbiasa melakukan ini karena memang aku yang selalu melakukannya.

Meski aku anak bungsu, ayah tak serta merta melimpahkan kasih sayang hingga aku dapat bermanja ria. Ayah memang baik, tapi terkadang aku ingin didengar juga.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ONES UPON A TIMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang