Matahari mulai terbit, menyinari tempat kubangan perang. Seorang wanita mengelilingi tempat itu, mencari seseorang yang ia rasa berharga, ia berjalan ke kanan dan kiri, mutar balik terus menerus. Tak tahu dimana keberadaan orang yang ia cari itu di mana, tanpa disadari, ia berada tepat didepan orang itu.
"Papa ...." Ia memanggil namanya, mata hijaunya mulai berbinar-binar, untuk menahan sebuah tetesan air mata yang akan segera jatuh.
"Oh, benar."
"Papa dari tadi ingin mengatakannya ...." Pria itu mengangguk mengerti, ia tersenyum melihat anaknya yang sudah dewasa.
Wanita itu tercengang sambil merenung. Suasana hening terasa disana, hanya ada suara angin dan daun yang terbang terbawa angin. Ia menahan sekali lagi, agar air yang sudah mendidih di matanya tidak keluar.
Papanya masih tetap memandangi putrinya yang sedari hanya diam menatapnya, langit mulai terang, suara angin yang semakin kencang membuat suasana hati anak perempuannya bingung.
"Selamat ulang tahun!"
"Kau sudah jadi wanita hebat, Locean." Pria yang ada di depannya mengucapkan ulang tahun kepada Locean, ia tersenyum lebar karena anaknya berhasil menjadi seorang yang kuat dan tangguh.
Locean hanya merenung, ia tak tahu harus sedih atau bahagia. Perasaannya berkecamuk, ia hanya bisa tersenyum sedikit dan menggigit giginya sendiri agar tidak menangis. "Yah ... Terimakasih."
"Kami ini keberadaan yang seharusnya tak ada."
"Kami tak bisa terus ada di dunia ini."
"Saatnya perpisahan."
Locean hanya bisa menatap apa yang dibicarakan oleh papanya, ia menghela nafas, sedikit mencoba untuk menenangkan dirinya agar tidak sedih. Ia menundukkan kepalanya, merenungkan semuanya sambil mengenang masa lalunya dulu.
Papanya, Reherka, hanya menunduk, menutup wajahnya dari Locean. Menutupi tangisan yang akan mulai keluar dengan senyuman tipisnya disertakan cahaya yang akan menjemputnya. "Papa janji akan menceritakan semuanya pada Ibumu."
Locean melihat cahaya yang mulai menarik roh papanya, matanya mulai berbinar-binar, ia mencoba untuk terus. Terus tersenyum, menahan semuanya.
Ia membelalakkan matanya, mencoba menutupi semua kesedihannya dan berpura-pura untuk tidak menjadi orang lemah.
"Bilang pada ibu untuk tak perlu cemas. Aku makan dengan teratur kok!"
"Aku bisa makan apa saja!"
"A-ahaha. Aku juga akan berusaha mandi setiap hari!"
"Aku juga kadang-kadang ke pemandian desa!"
"Meski semua orang bilang aku enggak tahan lama-lama ... A-ahaha ... haha ... Apalagi, apalagi ya ...."
"Aku punya banyak teman!"
"Dan mereka teman yang baik!"
"Dan .... Aku payah di sekolah, tapi aku tak pernah depresi dan terus percaya diri lebih dari siapa pun!"
"Biasanya sih, aku selalu menurut pada Kakek Shisui dan Bu Aihara."
"Aku menghormati mereka! Mereka di sini, jadi kau bisa tanya sendiri!"
"Oh! Dan tiga larangan yang diberikan ibu?"
"Aku sudah belajar banyak saat aku bersama Kakak Ralvnexon!"
"Dia tak berdaya kalau soal itu ... tapi dia tetap orang yang luar biasa dan aku sangat menghormati dia!"
Reherka hanya bisa menatap semua omongan putrinya itu, dia menangis bahagia melihat anaknya yang disukai banyak orang, memiliki banyak teman, dan menjadi anak yang baik dan penurut, serta menghormati para seniornya.
"Aku sudah 17 tahun hari ini, jadi aku masih tak tahu soal alkohol atau pria ... aku tahu Ibu bilang aku harus cari pria seperti papa .... Tapi ... itu ... anu ...."
Sekarang, Reherka mengeluarkan air matanya, ia tak tahan menahan air mata yang sudah sangat mendidih untuk keluar dari kelopak matanya.
Ia tersenyum bahagia, sangat. Sangat bahagia. Tubuhnya mulai hancur sedikit demi sedikit, tetapi ia tetap berusaha tetap menahannya sebelum putrinya selesai menceritakan semuanya.
"Pokoknya! Tidak semua yang papa suruh berjalan lancar, tapi aku masih terus berjuang!"
"Aku juga punya impian!"
"Aku akan jadi pemimpin yang lebih hebat darimu, papa!"
"Pasti!"
"Eng ... Tgh ...." Air mata yang sedari Locean tahan akhirnya keluar, ia tetap melanjutkan ceritanya walaupun ia sudah tahu kalau roh papanya sudah keluar dari tubuh aslinya.
Roh Reherka tersenyum sambil meneteskan air mata, ia merasa sangat tidak rela untuk perpisahan dari Locean walaupun ini memang sudah takdirnya.
"Jadi saat kau bertemu ibu di sana, tolong beri tahu dia .... Kalau dia tak perlu mencemaskanku!"
"Katakan padanya aku masih berjuang!" tekad Locean sambil menangis dan meluapkan semua emosinya kepada Roh papanya sudah mulai menuju langit untuk pergi ke alamnya sendiri.
"Pasti .... Pasti kuceritakan semuanya." Isak tangis Locean menyertai kepergian papanya, ia masih terus-terusan menangis melihat roh papanya yang sudah samar-samar dan menghilang. Lenyap meninggalkan Locean sendiri dengan tangisannya yang tersedu-sedu.