Part2

1 0 0
                                    

Tak lama dari kepergian mereka, tiba-tiba saja ada seseorang perempuan yang muncul dibelakangku dan aku pun tak tahu siapa dia. Namun, dia menghampiriku dengan senyumannya yang indah. Lalu membuatku teringat oleh sang nenek saat kala itu.

Dan, benar saja. Seseorang yang berdiri dihadapanku saat ini adalah nenekku. Berdirinya ia disini, wajahnya terkesan masih sangat muda sekali dan mirip sekali dengan ayahku. Kemudian ia mengeluarkan suaranya. Lalu aku berbalik badan dan menatap wajahnya.

"Hai nak, kamu kenapa ada disini? Ini sungguh bukan tempatmu. Baliklah ke tempat awalmu nak." Ucap sang nenek dan akupun terkejut melihat wajahnya yang masih muda. Dan akupun tidak bisa mengenalinya sama sekali. Padahal dia adalah nenekku.

"Kam-kam, kamu siapa?" Ujarku terbata-bata. Dan dengan geraman kedua tanganku ini menyuruh ku untuk merenggut rambut panjang ku. Karena kesal dengan keadaan yang tiba-tiba seperti ini. Aku tak mau gila seperti dulu lagi. Yaa Allah.. aku mohon, sadarkanlah hamba.

Dan seutas kalimat yang kudengar lagi darinya. "Carilah adikmu, Reva. Sebab dia tak jauh dari lingkungan tempat tinggalmu."

Tak lama kemudian...
Jlep!! Semuanya tiba-tiba saja menghilang dan menghitam. Gelap gulita, tanpa penglihatan warna lainnya.

...

flashback on
"TOLONG, TOLONG!! Suster, dia butuh penanganan dokter! Tolong segera ditangani. Karena tubuhnya terpelanting ke jalan setelah menabrak mobil saya." Ujar pernyataannya dengan tegas.

"Baik, baik. Silahkan dibaringkan tubuhnya." Jawabnya sambil mengambil tempat tidur darurat rumah sakit dan mempersilakannya, lalu cepat-cepat mendorong ke arah IGD.

"Gredeg-gredeg-gredeg!!" Gemuruh suara roda tempat tidur di rumah sakit berbunyi. Dengan tiga perawat yang menyertai disamping kanan dan kirinya pasien, lalu ada satu laki-laki yang berdiri dan menemani jalannya roda ini.

Berpakaian jas putih dan celananya yang hitam. Beraut wajah yang tampak sedikit resah, karena perempuan yang tak sengaja ia tabrak ini telah terlelap dan tak berdaya.

Sesampainya didepan ruang IGD, perempuan itu dibawa masuk dan pintu ruang IGD mulai ditutup.

"Mohon untuk menunggu diluar ya pak." Perintah dari salah satu perawat tersebut, karena pasien akan langsung ditangani oleh Dokter.
"Iya sus," jawabku.

"Yaa Allah, Gibran!! Apa yang baru aja kamu lakuin ini, sampai bisa melukai orang! Astaghfirullah." Sesalnya dalam hati.

Lalu ia menyandarkan punggungnya di tempat duduk rumah sakit, seraya menenangkan pikirannya.
"Berikanlah ia kesadaran yaa Allah dan semoga perempuan itu nggak kenapa-kenapa, aamiin.." Tutur do'anya dalam hati.

Dan, tak lama kemudian. Pintu ruang IGD itu pun terbuka.
"Gimana keadaannya, Dok?" Tanyaku.
"Keadaan pasien harus dirawat di rumah sakit dulu. Karena punggungnya sedikit cedera akibat benturan yang cukup keras."
"Astaghfirullah.." Sontakku kaget.
"Saya permisi dulu." Ujar Dokter itu.
"Makasih Dok."
"Iya, sama-sama."

"Oh iya pak, nanti tolong isi data pasien ya dan jangan lupa bayar administrasinya. Terima kasih." Ujar sang perawat.
"Iya sus, secepatnya saya akan isi data-datanya dan bayar administrasi rumah sakit."

Tak lama-lama dari drama hari ini, akupun langsung memasuki ruangan tersebut sambil berdiri dan meratapi nasib perempuan ini. Akupun sedikit mengajaknya berbicara, agar cepat sadar dan menemukan data-datanya untuk diketahui siapa dia ini. Lalu mengapa dia rela mempertaruhkan nyawanya demi orang lain.

Alih-alih ingin berbicara dan mengajaknya mengobrol. Tiba-tiba saja kelopak matanya secara perlahan membuka dan melihatkan bola matanya. Dan meraba penglihatannya di ruang ini. Dia pun tersadar, lalu bertanya.

"Kamu siapa? Kenapa saya ada disini?"
"Hai, kenalin nama saya Gibran. Saya yang habis nabrak kamu dan sekarang kamu lagi ada di ruang IGD rumah sakit."

"Oh.. jadi kamu juga yang bawa aku kesini?" Tanyaku lemas.
"Iya betul. Oh iya, kalau nama kamu sendiri siapa?"

"Namaku Reva. Hai Gibran, makasih ya kamu udah bawain aku ke rumah sakit, maaf ya saya merepotkan kamu."
"Iya, sama-sama Reva. Enggak ini enggak merepotkan sama sekali kok. Lagian ini juga bagian dari tanggung jawab saya. Maafin saya ya, saya benar-benar enggak sengaja nabrak kamu."
"Iya udah nggak papa kok." Reva tersenyum tipis

"Oh iya, gimana keadaan kamu sekarang?" Tanya Gibran.
"Alhamdulillah baik."
"Nanti kalo ada yang kurang enak di kondisi kamu yang sekarang. Kamu jangan segan-segan ya buat bilang ke saya. Saya janji akan nanggung semuanya."
"Iya, makasih banyak ya Gibran. Saya sudah cukup baik."

Dari perbincangan mereka itu, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang datang dan ingin menemui Reva.
"Hallo. Apa benar ini korban kecelakaan tadi siang?" Tanya seorang lelaki itu.

Gibran pun menjawab "iya betul, anda siapa ya? Apa anda keluarganya Reva?" dan menengok ke arah Reva, untuk memastikan siapa orang ini.

Reva menjawab sambil menggelengkan sedikit kepalanya "Bukan, dia bukan siapa-siapa saya.  Lagi pula saya juga udah nggak punya siapa-siapa lagi." Tutur Reva.

"Oh bukan, bukan. Saya kesini mau minta maaf atas kejadian ini. Kenalin saya Fatan. Kakak dari perempuan yang udah kamu selamatin nyawanya tadi siang. Adik saya bercerita, kalau tadi dia mau bunuh diri di jalan, tapi ada perempuan yang ngedorongnya dan dia selamat. Terus adik saya juga langsung kasi tau saya, dimana perempuan yang nyelamatin nyawanya itu berada." Tutur lelaki tersebut.

"Saya benar-benar meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada kamu. Karena kejadian ini yang sangat membahayakan diri kamu. Maka dari itu, saya siap untuk mempertanggung jawabkan semuanya."

"Iya sudahlah, nggak papa. Lagi pula, kejadian ini juga sangat cepat. Dan nggak bisa dihindari mau gimana pun. Saya juga nggak nyangka ya, masih ada orang yang berani buat ngelakuin hal ini." Ujar Reva.

"Sekali lagi maafin adik saya ya."
"Iya saya sudah memaafkan. Oh iya sebelumnya, kenalin saya Reva. Kalau adikmu namanya siapa?" Ujarku.
"Adik saya namanya Resha." Jawabnya.

"Resha?? Namanya sama seperti adikku. Tapi, hmm pasti banyak kan yang namanya kayak gitu juga. Mungkin ini hanya kebetulan aja." Batinku.

"Lalu? Ada masalah apa dengan adikmu itu?" Tanya Gibran.
"Sebetulnya adik saya ini memang punya penyakit sikologis dari mentalnya."
"Oh gitu. Dalam keadaannya ini, sekarang lagi terapi atau gimana?"
"Iya betul, tapi itu pun belum ada perubahan dari hari ke hari." Pasrahnya Fatan.
"Ya sudah kalau begitu, bolehkah saya bertemu dengan adikmu itu? Kebetulan saya ini bekerja sebagai ... " Ujar Gibran.

Tiba-tiba telpon genggam Fatan berbunyi "Drrrreeeetttt, drrrreeeetttt!" sehingga ia pun tak sempat mendengar ucapan Gibran yang menawarkan bahwa ia bisa menangani adiknya tersebut.

Nabastala Qodar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang