Kemudian Pangeran mencium Putri Salju yang terbaring di tempat tidur.
Sebuah keajaiban muncul, Putri Salju selamat dari kematian.
Setelahnya, mereka berdua dan tujuh kurcaci hidup bahagia selama-lamanya.Itu adalah penggalan dongeng yang sering ibu bacakan kepadaku sebelum tidur selama aku masih menjadi bocah ingusan-benar-benar ingusan, bukan hanya sekadar perumpamaan-yang sering membuat ibu naik darah dan berkeinginan untuk menggantungku di langit-langit rumah.
Tapi jujur saja, aku sudah muak mendengarkan dongeng itu berkali-kali.
Aku tidak dapat menghitung sudah berapa lama ibu membacakan dongeng Putri Salju sebelum aku tidur. Mungkin sejak aku masih berusia 5 tahun atau bahkan saat aku masih di dalam kandungan, ibu sudah menjejalkan dongeng putri keracunan apel-mati-hidup lagi.Tapi entah mengapa, ibu tidak bosan membacakan dongeng yang selalu membuatku ingin memejamkan mata bahkan sejak ibu baru membaca deretan judul berbunyi Putri Salju dan Tujuh Kurcaci.
Obsesi ibu terhadap wanita berambut cepak hitam sungguh menakutkan hingga membuat anaknya ini terlampau trauma.
Awalnya aku senang-senang saja dengan dongeng itu, bahkan aku menyukai si tokoh utama yang baik hati dan lemah lembut. Ibu menggambarkan Putri Salju sebagai diriku, perempuan nakal yang waktu kecil diam-diam suka mencuri buah apel di ladang Nenek Troya-sungguh tidak pantas disamakan dengan Putri Salju-, suka membuka kunci kandang kuda milik Paman Henry hingga kuda-kuda itu berhamburan sembari meringkik keluar-untuk yang satu ini aku hanya melakukannya sekali karena aku kapok hampir jatuh ke dalam got disruduk kuda-dan pura-pura mendengarkan dongeng yang dibacakan ibu padahal aku sedang menghitung domba di langit-langit kamar.
Aku tidak tahu, sisi mana yang ibu samakan antara aku dan Putri Salju. Satu-satunya hal yang sama dari kami adalah kami memakan buah apel dari nenek-nenek. Dan nenek yang apelnya sering ‘ku curi adalah nenek baik hati, sedangkan nenek yang memberi Putri Salju apel adalah nenek buruk rupa jelmaan penyihir.
Dari situ, aku menjadi berpikir betapa tidak inginnya aku disama-samakan dengan Putri Salju yang mudah tertipu hanya karena sebuah apel.
Akhirnya aku memutuskan untuk banting stir menyukai penyihir. Keinginanku didorong oleh beberapa hal,
1. Aku sangat ingin membakar kaki anjing liar berkepala tiga Herder yang gemar menginjak bunga yang sudah susah payah aku dan ibu tanam
2. Ayahku salah satu penyihir terkuat di kota Neiva yang menguasai empat elemen sihir
3. Ibuku ahli dalam sihir penyembuhan
4. Aku tidak memiliki sihir SAMA SEKALIAlasan yang keempat adalah dorongan paling kuat yang membuatku ingin menjadi penyihir. Aku tidak sudi menjadi Putri Salju yang lemah dan harus menunggu pangeran untuk menyelamatkannya. Aku bisa menyelamatkan diriku sendiri.
Mungkin ibu menyamakan aku dengan Putri Salju karena aku tidak memiliki kekuatan, terlihat seperti anak kecil baik-baik dengan paras rupawan dan senang menggunakan gaun-gaun cantik yang ibu pesan dari toko baju terkenal di sudut kota.
Tidak ibu, anakmu ini bukan putri. Anakmu ini penyihir.
Ah, bukan. Calon penyihir.
Tapi memangnya seorang penyihir bisa dikatakan penyihir walau tidak bisa sihir?
***
“Tapi aku ingin memiliki sihir, Ayah!”
“Bianca, sihir itu diwariskan. Tidak bisa dimiliki sembarangan.”
“Tetapi kenapa aku tidak memiliki sihir seperti yang lainnya? Orang tuaku adalah penyihir hebat, tetapi kenapa aku tidak bisa sihir sama sekali?!”
Aku menangis sejadi-jadinya di ruang tengah malam itu dengan ingus yang mengalir hampir melewati garis bibir yang langsung diseka oleh ibu menggunakan bagian atas bajuku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dongeng Putri Salju dan Penyihir Abad 21
FantasyAku tidak pernah bermimpi berada di tempat antah berantah dan bermain kejar-kejaran dengan laki-laki bertampang songong yang rasanya ingin aku umpankan pada anjing gila berkepala tiga yang sering menginjak bunga di pekarangan rumahku. Secara harfiah...