Jalanan pagi ini terlalu padat untuk dilalui, banyak kendaraan yang berlalu lalang sesuka hati, membuat tatanan jalan semakin tidak beraturan. Meski hanya sebagai penumpang, tapi perempuan berambut pendek sebahu ini sungguh sangat kesal melihatnya. Seharusnya jarak tempuh dari rumah ke sekolahnya hanya memakan waktu sekitar lima belas menit, tapi mengingat tinggal di daerah yang terkenal dengan kemacetan, ya lima belas menit pun berganti menjadi empat puluh menit.
"Tua dijalan tuh emang bener ya.. beneran sial" maki Aciva di dalam hati.
Aciva mengeluarkan handphone nya dari dalam saku jaket dengan sangat hati-hati, lalu ia mengirimkan pesan kepada salah satu teman sekelasnya untuk membolos ke warmindo yang tak jauh dari sekolahnya. Begitulah yang akan Aciva lalukan jika sudah sangat malas terjebak macet, dan terhimpit dengan jam masuk yang tidak bisa ia kejar.Ia menepuk pundak bapak ojek online di depannya, dan meminta untuk mengubah rute tujuan ke warmindo. Sebelum bapak itu mengacungkan jempol di udara, Aciva bisa melihat dari kaca spion bahwa si bapak sedang menahan tawa sambil menggelengkan kepala. Mungkin ia heran dengan kelakuan anak muda jaman sekarang, yang apa-apa nya selalu bolos.
Sepuluh menit kemudian motor itu sudah sampai di depan bangunan sederhana berwarna putih gading. Suasananya tidak terlalu ramai, mengingat jam baru saja menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Pagi. Bukan malam. Tapi bisa Aciva liat ada beberapa orang yang sedang bercengkarama dalam balutan seragam putih abu. Mungkin mereka sama malas nya dengan Aciva.
Aciva segera masuk ke dalam setelah membayar uang ongkos nya, mencari-cari tempat yang tidak akan terlalu terlihat dari jalanan—takut-takut anak satu sekolahannya melihat dan melaporkan dirinya ke guru BK.
Bangku panjang di pojok sebelah kanan itu jadi pilihan Aciva untuk menjatuhkan tas nya yang kalau dilihat isinya pun hanya ada 1 buku dan 1 pulpen. Sangat tidak ada semangat sebagai pelajar, bukan?"Kalo jalan tuh pake mata mas, ini ada orang loh"
Semua mata melihat ke arah depan, terdapat perempuan yang lagaknya seperti preman sedang berdebat dengan mas-mas berkemeja flannel–yang kelihatan nya sedang dalam buru-buru"Maaf ya, saya lagi buru-buru" mas itu menurunkan standar motornya, berniat untuk meminta maaf dengan sopan, namun ditangkis dengan perempuan preman tersebut yang tak lain adalah Lili–teman sekelas Aciva yang tadi diajak untuk membolos bersama.
Aciva langsung menghampiri teman nya, sebelum terjadi baku hantam yang tak terduga. Ia tau jelas bahwa teman nya itu memang agak sensian. Mulutnya itu seperti tidak bisa jika sehari tidak mencibir atau bahkan memaki orang. Ah memang dasarnya dia judes saja, tidak ada alasan lain.
"Mas maaf yaa, teman saya abis diputusin pacarnya jadi memang mulutnya gak bisa dijaga." Sanggah Aciva cepat, "Mas lanjutin lagi aja perjalananya, lagi buru-buru kan?" Aciva menarik tangan temannya, dan meninggalkan mas berkemeja flannel yang sudah siap membawa motornya melaju. Untungnya si mas baik hati, tidak membuat urusan semakin panjang.
Kini Lili menggerutu karena tidak terima dikatakan abis diputusin, sudah jelas memang mas itu yang salah karena memundurkan motornya tanpa melihat dulu dan naas nya menyerempet kaki kanan Lili. Masa diserempet gitu harus senyum? Ya marah dong.
Tapi Aciva gak mau ambil pusing, dia sudah terbiasa mendengar celoteh Lili yang benar-benar bisa membuat telinga nya pecah. Tangannya melambai ke arah teteh-teteh yang sudah siap membawakan selembar daftar menu dan secarik kertas dan pulpen."Teh, aku pengen internet nya 1, pedes nya sedeng aja ya?" Aciva melihat-lihat lagi daftar menu, mencari sesuatu yang lain yang dapat mengisi perutnya yang sudah sangat keroncongan. Sedetik kemudian Lili merebut daftar menu tersebut tanpa memberikan ruang untuk Aciva yang sudah memeloti dirinya
"samain juga teh, tapi aku mah pengen yang pedes pisan pokonya ya. Sama es teh jumbo nya 1, terus es teh yang sedeng nya 1 ya buat temen aku" lalu ia melemparkan cengiran lebarnya, yang dibalas decakan malas oleh Aciva.
KAMU SEDANG MEMBACA
Revenge
Teen FictionPergulatan dengan diri sendiri itu adalah hal yang paling sulit. Ketika akal berkata iya, dan hati berkata sebaliknya, mau bagaimana? Apakah tetap dengan tujuan awal? Yang penuh dengan dendam. Atau mungkin... memaafkan semua yang terjadi dan melanju...