Batu itu bernama Evan Setiaji. Lahir 20 tahun silam, pada bulan Februari, di bagian utara propinsi Jawa Barat, Kota Subang. Ia tumbuh di lingkungan sederhana dalam keluarga pragmatis yang harus senantiasa menunduk semasa rezim Orde Baru dulu. Betapa tidak? Karena sang paman-kwkwk tertua ayahnya-adalah anggota Lekra¹, dan sang ayah sering menjadi simpatisan Lekra, keluarganya pun harus terseret-seret dicap "kiri". Padahal Evan tahu: Ayah, apalagi ibunya, tak pernah memilih kehendak di kiri atau kanan; keluarganya dianaktirikan negara karena alasan yang tidak jelas; ia dan adiknya dicibir oleh anak tetengga karena dosa yang tidak mereka mengerti.
Anak eks tapol!
Musuh negara!
Pengkhianat!Hinaan-hinaan itu biasanya berujung dengan perkelahian yang membawa Evan kecil pada hukuman dari sang ayah. Ayah yang menunduk di hadapan negara cuma bisa bersikap keras di hadapan anak-anaknya. Ia membentuk karakter Evan menjadi seseorang yang tidak boleh cengeng, yang mesti mampu mengambil keputusan, yang di akhir episode menjelang dewasa harus balik keras menentang sang ayah karena perbedaan pendapat.
Tak seperti adik Evan, Fairuz Zahir, yang selalu menganggut mengikuti kehendak sang ayah, lantas menjabat sebagai pegawai bank seberes kuliah, Evan adalah burung pembelot yang terbang menukik, ke tempat di mana segala sesuatu dicap tak berguna buat modal hari tua.
Dengan gelar sarjana Teknik Informatika yang Evan genggam, ayahnya berharap ia bisa mengikuti jejak sang adik: hidup normal dengan pendapatan tetap. Evan menolak. Baginya, "normal" versi sang ayah sangat membosankan. Ia lelah menunduk. Ia tidak mau lagi diatur. Meski, tanpa sadar, Evan sebenarnya berterima kasih pada sang ayah yang sudah memaksanya masuk jurusan yang tidak ia sukai. Justru karena berkenalan dengan organisasi kampus, dan karena sering ikut demo-lah, ia terbentuk menjadi seorang yang kritis.
Ibunda Evan adalah wanita sederhana yang senantiada mengingatkannya agar beribadah dan tak lupa Tuhan. Sesuatu yang telah lama tidam ia turuti. Tatkala Evan pergi dari rumah, tiga tahun silam, sehabis bertengkar hebat denyan ayahnya karena perbedaan pendapat, hanya mata ibu yang berkaca-kaca yang memberatkan langkahnya melakukan petualangan gila-dengan cara menggembel-ke daratan Sulawesi. Pada akhirnya, ia tetap berangkat selepas mengecup kening sang bunfa dan meyakinkan bahwa dirinya akan menjadi seorang yang berguna.
Evan bertemu dengan Daffa Firdaus, pria berambut gimbal asal Sumatra Utara, yang sedang mencari bahan baku kopi tatkala berada di Toraja. Daffa menawarkan tempat singgah jika kelak ia ke Bandung. Daffa memang berniat untuk membuka kedai kopi sepulang dari pengembaraannya. Evan tidak mengiyakan, tidak juga menolak.
Setahun kemudian, seberes petualangannya hingga ke perbatasan Filipina, Evan pun akhirnya menetap di Bandung. Tidak sebising Jakarta, namun tidak sejauh itu untuk menjenguk sang ibu. Sesekali ia menjadi wartawan lepas, sering kali ia membantu Daffa di kedai kopi. Cita-citanya terdekatnya adalah mengangkat sejarah Papua. Dua tahun berselang. Evan kini mengerti bahwa tidak semudah itu menjadi seorang yang berguna.
"Tapi, Ibu, anak sulungmu sedang jatuh cinta.
Segala hal tentang Diana menjelma menjadi sekumpulan karya sastra yang wajib dibaca dengan khidmat. "Apa kabar?", "Sudah makan belum?", dan "Lagi apa?" menjadi gerbang pembuka yang membawa mereka pada obrolan menjelang tidur.