Perjumpaan Yang Sederhana

8 6 0
                                    

"Aku mau ajak kamu ke satu tempat." Evan akhirnya memberanikan diri mengetik kalimat tersebut setelah hampir satu bulan berkenalan dengan Ana.
"Ke mana?" tanya gadis itu.
"Melihat senja," balasnya cepat.
"Kenapa kamu suka senja?"
"Kenapa harus enggak?"
"Bukannya senja cuma membawa kita menuju kegelapan?"

Lama Evan membiarkan kedua jempolnya melayang, sebelum ia kembali mengetik. Ingin rasanya menjelaskan bahwa ia telah jatuh cinta, pada cakrawala yang terbakar sejak bersentuhan langsung dengan pantai-pantai di Sulawesi. Namun, ia berujung mengetik "Senja memang membawa kita menuju kegelapan. Tapi, kalau kita tahu caranya bersyukur, banyak bintang dalam gelap yang menunggu untuk kita nikmati." Entah mengutip dari mana, mungkin Evan pernah mendengar kata-kata itu dari sebuah film.
"Jawaban yang cukup bagus, biarpun agak klise. Oke, aku mau. Eh, tapi ini bukan kencan lho, ya."
Evan hanya membalas dengan titik dua dan kurung tutup. Padahal di kamar indekosnya, ia sedang melompat-lompat kegirangan.
•••
Pada minggu yang cerah-selepas tadi malam Diana menghabiskan waktunya dengan mengikuti acara organisasi di kampus , dan Evan menghabiskan waktunya berbincang bersama para sahabat perkara rencana pendakian ke Slamet--Evan datang ke kediaman Diana di daerah Arcamanik. Seorang bapak berusia lima puluhan duduk di beranda rumah, menyambut kedatangan Evan dengan penuh antipati. Kumisnya lebat dan menukik di kedua ujungnya. Wajahnya tidak secerah langit Bandung. Senyum Evan tak dibalas sama sekali.
Sang gadis keluar dari pintu depan. Rambutnya menari mengikuti ayunan langkah ringan yang dibalut Converse. Kaus hitam bertuliskan "Nirvana" jatuh dengan sempurna di lekuk tubuhnya. Evan hampir lupa betapa Diana yang ada di dunia nyata lebih cantik dibandingkan Diana yang ada di dalam imajinasinya.

"Pa, aku berangkat dulu." Ana mencium tangan ayahnya.
"Jangan pulang terlalu malam," balas Bapak Berkumis Lebatkemudia menatap tajam ke arah Evan, siap melumatnya jadi perkedel seumpama anak sematawayangnya dikembalikan terlambat.

Mereka melaju, menggunakan sepeda motor tua, menuju sebuah kedai kopi bernama "Titik Senja" di daerah Buah Batu. Gadis itu diperkenalkan pada teman-teman Evan yang kritis terhadap fenomena negeri, juga pada Daffa Firdaus, sahabat Evan yang merangkap pemilik kedai. Diana tidak berminat mengikuti perbincangan. Pengamatannya bermain di rak buku yang memanjang. Selain memanjakan pecinta kopi dengan kopi-kopi eksotis dari berbagai daerah di Indonesia. Titik Senja juga terkenal memanjakan para kutu buku dengan buku-buku langka. Diana menetap di barisan buku lalu tenggelam dalam buku Distilasi Alkena. Sebelum dirinya dan Evan pamit, ia putuskan untuk membeli buku itu.

"Tak usah, ambil saja," Ujar Daffa
"Tapi...."
"Ah, bawa saja. Toh, Evan mau kasih aku nomor telepon seseorang. Jadi, sudah pasti aku bakal utang budi," ucap pria ikal itu sembari mengedipkan satu mata ke arah Evan. Ia lalu terkekeh.

"Dasar playboy cap kuda nungging," gumam Evan dalam hati.

Sepeda motor tua kembali membawa dua anak manusia mengarungi Bandung hingga berhenti di pintu masuk taman hiburan di Jalan Sinargalih. Usah bayangkan keramaian semacam Dufan, pengunjungnya sekadar lima-enam orang.

  "Aku baru tahu kalau ada taman hiburan di sini," komentar Diana seraya menaruh helm seberes sepeda motor terparkir manis.
  "Kurang terkenal. Tapi, saya pribadi suka taman ini. Enggak riuh dan harganya manusiawi." Evan lantas berjalan diikuti sang gadis.

Jam di tangan sudah menunjukkan pukul 16.45 kala mereka berdua duduk di depan komidi putar. Evan menyorot langit, sambil berdoa tak ada awan yang bermain-main di angkasa. Dinyalakannya sebatang kretek yang ia keluarkan dari saku jaket, lalu diisapnya dalam-dalam. Baru satu isapan, Diana merebut rokok itu kemudian menginjaknua. Evan melongo

"Jangan curi udaraku!" Diana merengut.

Evan mengangguk paham, walau masih melongo.

   "Eh-eh, aku mau naik itu," pinta Diana seraya menunjuk ke bianglala yang terpaut beberapa meter dari tempat mereka berada. Jika teman sejawat Evan tahu bahwa dirinya naik wahana semacam itu, ia tentu akan ditertawakan habis-habisan. Namun sekali lagi, rasa merebut logika. ia hanya sanggup mengamini.
   Bianglala berputar. Mata Diana berbinar menyaksikan sekitarnya. Di putaran kedua, ada sesuatu yang salah. Kipas raksasa itu memperlihatkan gelagat aneh. Dia tersendat, bergetar, hingga akhirnya berhenti. Mereka berdua sedang ada di tingkat tertinggi.

   "Maaf atas ketidaknyamanannya. Kami akan segera memperbaiki kerusakan," ujar seorang staf melalui pengeras suara, tiga menit setelah bianglala mengadat. Terlihat di bawah sana, dua orang sedang mengutak-atik mesin. Evan tidak mengeluh, ia malahan bersyukur dengan situasi itu. Diana tak jauh berbeda, pandangannya lurus dengan matahari yang sebentar lagi pamit membuatnya betah.

  Cakrawala makin kuning, membias wajah mereka. Dua insan itu sibuk menceburkan diri dalam hamparan angkasa yang berganti warna dengan cepat. Jingga menjadi ungu, ungu menjadi hitam. Bumantara yang cerah membuahkan gemintang yang memancarkan kegenitan. Selepas proses peperangan antara otak dengan hati, tangan Evan mendarat di punggung tangan Diana. Impulsif, atau mungkin terbawa suasana, gadis itu menatap heran. Ia melepaskan tangannya, perlahan.

   "Aku sudah bilang, ini bukan kencan," tukasnya.
   "Saya tahu. Tangan saya saja yang bandel."
   "Kamu sadar, kan, kita ini belum lama kenal?"
   "Apa perlu kamu membohongi hatimu sendiri?"
   "Maksud kamu?" Diana mengernyitkan dahi.
   "Dengan kita ada disini, kamu tahu maksud saya apa."
   "Kamu delusional. Aku ikut kamu murni karena ingin lihat senja."

   Lelaki itu diam kecurian kata. Perbincangan belum selesai, bianglala telah kembali bekerja, mengantarkan mereka pada situasi canggung. Diana bergerak cepat keluar dari taman hiburan. Evan berjalan empat meter di belakangnya.

  "Saya bakal nunggu kamu," seru lelaki itu santai.
  Diana berhenti lalu menoleh ke belakang. "Menunggu aku supaya?"
  "Supaya sadar kalo saya bisa buat kamu bahagia."

   Gadis itu tersenyum lantas berjalan mendekati sang lelaki. "Hidup enggak sesederhana itu."
   "Hidup ini sederhana, manusianya aja yang rumit."
   "Aku yakin kamu bisa bikin orang yang kamu sayangi bahagia. Kamu cuma hadir di waktu yang salah."
Diana memandangnya dalam-dalam. Ia lalu memejamkan mata, keras, seakan menahan sakut. Jemarinya mengusap bagian belakang kepalanya sendiri. Ia hampir terjatuh, tapi berhasil menyeimbangkan tubuhnya.

   "Kenapa?" tanya Evan.
   Diana menggeleng. "Enggak. Balik, yuk," ajaknya.

•••

Di atas sepeda mitor tua, mereka bisu seribu bahasa. Evan, yang tak ingin lagi berlama-lama dalam situasi canggung, menancap gas motornya yang tidak didesain untum mengebut. Hingga, lengan Diana melingkari perut Evan dari bangku penumpang.

   "Kamu tahu kan, jantung saya akan berdebar kencang kalau kamu merangkul saya?" tanyanya tanpa menoleh, pun melirik.
   "Aku tahu. Tanganku saja yang bandel," jawab gadis itu.

Detik itu juga, Evan mengerti bahwa keheningan pun mampu menyanyikan lagu merdu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

21:05Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang