Satu hari sebelum The Riverside Mystery terjadi ....
°°°
Situasi peternakan kuda River Creek sore itu berlangsung tenang. Matahari akan terbenam beberapa jam lagi. Bentangan langit biru kemerahan tanpa awan merajai langit, di bawahnya hamparan ladang rumput tumbuh segar, pagar kayu dan kawat setinggi dua meter melintang di sepanjang tepi wilayah tanah milik peternakan. Angin hangat khas pertengahan musim semi berembus menggerakkan rerumputan, juga membuat dedaunan di atas pohon apel yang tumbuh rimbun di dekat gedung kandang melambai-lambai.
Di sekitar tanah berumput milik peternakan yang lapang, seorang gadis berusia pertengahan dua puluhan sedang menaiki kuda jantan berwarna cokelat gelap. Rambut pirang menteganya yang sepanjang ketiak ikut diterpa angin, bergoyang dengan anggun mengikuti gerakan hewan tunggangannya. Pupil mata hijaunya berbinar, betul-betul mengapresiasi suasana alam di sekelilingnya.
Banyak hal diserap oleh kelima panca indra tubuhnya, tapi yang tidak wanita itu sadari, bahwa sepasang mata milik Theodore Lambert mengamati kegiatannya sejak tadi dari dalam gedung peternakan.
Walau begitu, Theo menolak dianggap sebagai pengintai, yang dilakukannya hanya mencuri-curi pandang. Ia seharusnya fokus menyelesaikan tugas memandikan seekor kuda, tapi lagi-lagi tak tahan untuk membagi perhatiannya dengan diam-diam menatap Livia, si gadis pirang yang merupakan rekan kerjanya di peternakan ini.
Namun, siapa yang bisa menyalahkannya? Antara harus memandangi pantat kuda yang sedang dimandikannya atau wanita cantik di luar sana, Theo jelas lebih suka menatap yang mana. Pilihan untuknya tidak banyak di sini.
"Memandangi Livia lagi?" tanya seorang pria, rekan kerjanya yang ikut menemani Theo memandikan kuda.
Dia adalah Gabriel, tapi lebih memilih dipanggil Gabe. Theo dan Gabe berteman sejak kecil, merupakan bantuan Gabe pula Theo bisa mendapat pekerjaan di peternakan ini. Perawakan Gabe besar dan tinggi, kulit gelapnya berkilau oleh keringat berkat kegiatan yang dilakukannya sekarang. Kaus singlet abu gelap yang dipakainya basah terciprat air.
"Eh, tidak," kilah Theo, buru-buru memfokuskan matanya ke Bilbo, nama sang kuda yang sedang dimandikan di hadapannya. Ia cengkram lebih erat sikat di tangannya dan menggosok kulit Bilbo yang sewarna arang, alhasil membuat sang hewan meringkik keenakan.
Jelas Gabe tidak tertipu oleh penyangkalan lemah itu. Deretan giginya yang putih tampak saat ia menyeringai, teramat kontras dengan kulit wajahnya. "Well, jika Mr. Clinton---pemilik peternakan ini---sampai melihat tingkah tak fokusmu saat bekerja, dia akan memakimu habis-habisan, Bung. Tapi ini aku, jadi yang akan aku katakan adalah cepat angkat bokong pemalasmu itu dan ajak Livia berkencan!"
Melirik terkejut pada temannya, Theo menimpali, "Apa? Kau bercanda? Livia baru sebulan bekerja di sini, dan aku baru akrab dengannya hanya selama seminggu terakhir ini. Ajakan semacam itu akan terlalu cepat baginya."
Gabe menggelengkan kepala tak sepakat. Sebelum bisa berkata apa-apa, kedatangan Livia bersama kuda tunggangannya ke dalam peternakan membuat kedua pria itu bungkam.
Selain paras cantik dan tubuh ramping semampai, kelebihan Livia yang diakui banyak orang adalah kepribadiannya yang hangat. Livia tersenyum dan melambaikan tangan ke arah rekan-rekan kerjanya ketika hendak memasukkan kuda ke dalam kandang.
"Hei, Liv!" panggil Gabe sesaat kemudian. "Apa kau sibuk? Ada sesuatu hal yang ingin ditanyakan Theo padamu."
Kontan saja Theo memelotot, yang tidak membuat Gabe gentar sama sekali. Malah membuat ujung bibirnya berkedut menahan gelak tawa.
"Tidak juga," jawab Livia ringan tanpa menoleh dari tugasnya. "Setelah ini aku selesai. Tunggu sebentar."
Pada awal masa kerjanya di sini, Livia adalah gadis yang tak begitu ahli berurusan dengan binatang. Tapi sekarang ia begitu lihai dalam melakukan setiap tugasnya. Nyaris semua kuda bersikap lebih jinak jika diurus olehnya.
Beberapa saat kemudian, setelah selesai menggiring seekor kuda tersebut ke dalam kandang, Livia datang menghampiri, matanya menatap Theo lurus-lurus. "Jadi, apa yang kau ingin tanyakan?"
Tak mau kelihatan salah tingkah, Theo buru-buru mengarang pertanyaan. "Eh, bukan hal penting. Aku hanya ingin bertanya, kau akan datang bekerja besok?"
"Tentu saja." Livia tertawa kecil dengan tak nyaman. "Tidak ada alasan untukku tidak datang. Kenapa kau merasa perlu menanyakan itu?"
"Bukan apa-apa." Theo kini menambatkan pandangan sepenuhnya pada hewan di hadapan, berusaha tak bertingkah seperti seorang idiot---yang tentu saja gagal. "Aku hanya ingin tahu, kita merasa sangat terbantu sejak kau ikut bekerja di sini, Liv. Itu saja."
"Senang mendengarnya." Livia melemparkan tatapan heran yang tak Theo acuhkan. Merasa tak perlu mempertanyakan hal itu terlalu jauh, Livia bertanya, "Apa kalian butuh bantuan untuk menyelesaikan tugas memandikan mereka semua?"
"Oh, aku pikir itu tidak perlu," jawab Gabe, menolak dengan halus tawaran itu. "Jam kerjamu sudah berakhir beberapa menit lalu, Liv. Kau boleh pulang. Sisanya di sini biar kami yang mengurus."
"Oh. Baiklah. Kalau begitu, aku pamit." Livia mengambil tasnya yang tergeletak di dekat dinding. "Sampai jumpa besok, Gabe, Theodore."
"Theo," ralat Theo, yang tak suka dipanggil dengan nama lengkapnya. Namun Livia sudah terlanjur pergi meninggalkan gedung.
Saat itulah tawa Gabe yang ditahan sejak tadi meledak. Seakan kurang memalukan, beberapa kuda dalam kandang meringkik menunjukkan gigi seolah ikut menertawakan Theo.
"Kau harus berhenti melakukan itu," Theo memperingatkan Gabe sungguh-sungguh. "Niatmu untuk membantu malah membuat hubunganku dengannya makin canggung."
Gabe hanya tertawa makin keras.
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Different Universe
Mystery / ThrillerCerita Dewasa | 18+ °°° Theodore Lambert meyakini bahwa hidupnya yang monoton takkan bisa lebih membosankan lagi. Mimpi besar yang bersarang di kepalanya mustahil ia kejar, realita memaksanya bertahan hidup di kota kecil menemani sang ibu yang makin...