Mulut gua nyatanya memang cukup lebar untuk dilewati tiga kuda sekaligus, tapi diperlukan sedikit bujukan, rayuan dan belaian agar Bilbo, Greg serta Dakota bersedia digiring masuk. Para kuda mungkin merasa tak nyaman harus memasuki tempat pengap yang asing, tapi ternyata keadaan dalam gua sama sekali tak sempit.
Dari luar, mulut gua terlihat natural, berpadu padan amat sempurna dengan keadaan alam di sekitarnya. Namun di dalamnya tersembunyi pemandangan modern.
Ruangan seluar lapangan lacrosse membentang saat melangkah masuk, tepian gua dilapisi semacam lembaran aluminium dengan fondasi pilar dari beton. Langit-langit gua berkubah dilapisi bahan yang sama berwarna abu metalik. Dan ruangan tersebut tidak kosong.
Empat mobil forklif berjajar di salah satu sisi gua, di sisi lainnya bertumpuk beragam jenis mesin yang tak Theo kenali beserta potongan-potongan logam yang tertutupi selembar plastik bening. Di ujung gua terdapat sebuah lorong menyerupai terowongan, berbentuk memanjang yang entah menuju ke mana. Lorong itu memiliki kesan futuristik yang sama.
Satu-satunya hal yang masih tampak natural adalah permukaan---masih berupa tanah cokelat kemerahan yang rata. Namun tetap saja, kesemuanya membuat setiap pasang mata terpaku, terkecuali Robertson.
"Tempat apaan ini?" seru Gabe lantang dan memandang takjub, suaranya bergema.
"Well, selamat datang di laboratorium penelitian senjata dan teknologi," ucap Robertson menyengir sambil merentangkan kedua lengan, lagaknya bagai seorang raja yang menyambut para tamu di istana. "Tempat ini secara teknis milik negara, di bawah naungan menteri bidang pertahanan dan teknologi Amerika Serikat. Aku tinggal dan bekerja penuh waktu di sini."
"Kau seorang ilmuwan?" tanya Livia tersadar.
Robertson mengangguk. "Kau bisa menyebutnya begitu. Aku memimpin penelitian di sini."
"Hmm." Theo menimbang-nimbang, sedikit terkesan. "Itu menjelaskan kenapa kau berpakaian seperti itu."
"Jelaskan lebih banyak tentang tempat ini," pinta Livia kemudian. Sorot matanya berbinar oleh rasa penasaran.
Pandangan mata Robertson menerawang saat ia mulai memaparkan, "Singkatnya, semua fondasi yang kalian lihat sengaja dibangun untuk meminimalisir kemungkinan tempat ini runtuh. Seperti di tempat asal kalian, pertambangan ini dulunya hanya area tambang terbengkalai, tapi sepuluh tahun lalu---ketika perang dunia ketiga pecah---pemerintah banyak mengalih fungsikan tempat-tempat terpencil dan terlupakan seperti ini menjadi lab penelitian."
"Perang dunia ketiga sempat terjadi?" cecar Theo dengan ngeri.
"Sepuluh tahun lalu," ungkap Robertson membenarkan. Air mukanya mendadak murung. "Disebabkan oleh problematika politik dan ego para pemimpi dunia, singkatnya begitu. Perang itu berlangsung selama dua tahun penuh, membuat banyak kerusakan di planet ini. Masa damai sempat berlangsung selama beberapa tahun, tapi keadaan berubah panas dengan cepat. Perang dunia keempat pecah sejak tahun lalu."
"Itu gila, tapi---" Gabe mengungkapkan pendapatnya.
"Teman-teman," potong Robertson sopan, "aku dengan senang hati akan menjawab semua pertanyaan kalian, tapi ini bukan tempat yang tepat untuk melakukan diskusi panjang lebar. Aku sarankan kalian segera menambatkan tali para kuda ke salah satu mesin forklif itu."
Ketiganya bergumam sepakat, tak berlama-lama langsung mengamankan para hewan tunggangan lebih dulu. Setelah tali terikat kuat, mereka melepas semua peralatan berkuda: pelana, tali perut dan sanggurdi, demi kenyamanan kuda-kuda yang pantas mendapatkan waktu beristirahat.
Setelahnya, Robertson mengajak mereka untuk menyusuri lorong. Terowongan panjang yang berkelok, suara alas kaki setiap orang menginjak tanah terdengar lebih nyaring akibat bergaung.
Robertson berjalan menyamai langkah kaki Theo, bergerak dalam posisi bersisian. Kemudian pria itu bertanya, "Theodore Lambert, aku penasaran, tadi di luar Gabriel berkata kau telah membuang nama belakang ayah kita. Boleh aku tahu alasannya?"
Bibir Theo terkatup rapat, ia tak mau membahas perkara ini, tapi di saat yang sama merasakan secercah penasaran. "Alasannya sederhana, aku tak ingin memiliki hubungan apa-apa lagi dengan pria itu sejak pergi tanpa kabar saat usiaku tujuh tahun."
"Oh." Robertson menjadi diam karena jawaban itu.
Kini giliran Theo bertanya, "Melihat kau yang tetap mempertahankan nama belakang Robertson, kurasa kisah hidup kita cukup jauh berbeda, huh?"
Robertson tersenyum. "Sayangnya begitu. Di hidupku, Dad tak pernah pergi. Orangtuaku menjalani rumah tangga yang harmonis dan meninggal di usia tua."
"Menarik," komentar Gabe di belakang mereka. "Jadi kalian berdua adalah orang yang sama, tapi menjalani kisah hidup yang berbeda?"
"Itulah mutiverse, Gabriel," jawab Robertson lugas. "Setiap semesta memiliki ciri uniknya sendiri. Tak ada alur waktu yang sama persis. Variasi setiap orang memiliki garis hidup tersendiri. Tunggu sampai kalian melihat yang lain."
Theo berniat bertanya apa maksudnya dengan yang lain. Namun, Gabe mendahuluinya dengan berkata, "Kalau begitu apa yang terjadi dengan Gabriel East di duniamu? Apa kau dan aku versi alam semesta ini sama-sama berteman baik?"
"Sayangnya tidak. Kami tak pernah berteman." Robertson seakan sedang menahan napas. "Di duniaku, Gabriel East meninggal dalam tragedi kebakaran yang juga menewaskan seluruh keluarganya puluhan tahun lalu."
°°°
KAMU SEDANG MEMBACA
In the Different Universe
Mystery / ThrillerCerita Dewasa | 18+ °°° Theodore Lambert meyakini bahwa hidupnya yang monoton takkan bisa lebih membosankan lagi. Mimpi besar yang bersarang di kepalanya mustahil ia kejar, realita memaksanya bertahan hidup di kota kecil menemani sang ibu yang makin...