Perputaran dunia Haroun Kharisma, Evandra Jusuf Malik, dan Reno Millard Alsharif

6 1 0
                                    

SATU

Haroun Kharisma mendengar suara jeritan Nadine Kharisma, adiknya yang masih duduk di bangku SMA, dari ruang tengah apartemen mereka setelah membuka sebuah pesan dari ponsel Haroun yang berdenting beberapa kali. "Mas Haroun!!" pekiknya sekali lagi membuat Haroun yang sedang berada di dapur segera mengambil alih ponselnya dari tangan Nadine.

"Ada apa sih?" Haroun yang tidak biasa membiarkan ponselnya dilihat orang mulai merasa cemas. Apa yang sudah Nadine lihat dari ponselnya?

Nadine kini menarik-narik rambut panjangnya, terlihat frustasi tentang apa yang baru saja ia lihat dari ponsel sang kakak. "Mas Haroun, lihat pesan!"

Detik itu mata Haroun ikut terbelalak, "Hah?"

"Itu jelas-jelas bukan kak Sabrina!" jeritan Nadine kini sungguh memekikkan telinga Haroun. "Apa yang mas Haroun lakukan?"

Haroun kini membaca kembali pesan di ponselnya yang bertulis,

Pak Haroun,

Saya hamil.

Tatapan nanar dari Nadine kini masih tidak percaya terhadap apa yang terjadi pada kakaknya. "Mas Haroun, Tia siapa?" sembari memicingkan matanya, ia kini menyambar ponselnya sendiri dari sofa. "Aku akan bilang kak Brie, mas benar-benar mengkhianatinya."

"Eh, tunggu, tunggu dulu, Nad," kini Haroun berusaha menahan Nadine, "Mas hanya tidur dengan Sabrina." Detik itu juga Nadine semakin melotot pada Haroun.

"Maksud mas Haroun, demi tuhan, mas tidak mungkin menghamili dokter muda bimbingan mas Haroun di rumah sakit."

Belum sempat Nadine menghubungi Sabrina, kekasih Haroun sejak empat tahun lalu, akhirnya suara denting pesan kembali terdengar dari ponsel Haroun.

Bolehkah saya izin beberapa hari untuk menyelesaikan ini?

Tangan Haroun yang semula sedang bersiap merebut ponsel Nadine dari cengkraman Nadine sendiri, kini terhenti. "Nadine! Dia hanya minta izin tidak masuk!"

*

Evandra Josef Malik membawa Olivia pada kedua tangannya berlari ke dalam gedung rumah sakit. Petugas rumah sakit dari belakang meneriakkannya karena meninggalkan mobil yang diparkirnya dengan asal tepat di pelataran lobi rumah sakit, sama sekali tidak dihiraukannya. Olivia kecil ia rengkuh semakin erat berharap secepat mungkin dapat menuju ruang emergensi.

Tepat ketika pulang dari kantor saat ia menyapa Olivia, keponakan yang ia selalu anggap sebagai putri kecilnya, jatuh pingsan di dalam pelukannya, hari dimana seharusnya ia pulang lebih awal untuk merayakan ulang tahun ketujuh Olivia yang telah bersamanya hampir satu tahun.

Dengan jantung yang masih berdegup kencang, dadanya terasa nyeri ketika harus menyerahkan Olivia kepada dokter yang berjaga di ruang emergensi. Detik itu pula ia meragukan dirinya sendiri, takut akan dirinya tidak layak untuk membesarkan Olivia muncul di umurnya yang genap dua puluh dua tahun, seharusnya ia bisa merawat seorang putri kecil yang telah menjadi tanggung jawabnya. Ia tidak pernah menginginkan Olivia untuk dibawa oleh nenek dari Olivia yang sudah tua di Inggris, namun ia juga sudah tidak memiliki orang tua. Adik perempuannya, yang hanya berbeda satu tahun darinya, yang telah lebih dulu menikah, tewas dalam sebuah kecelakaan pesawat dengan Erick Winterbottom, suami sekaligus ayah Olivia, tahun lalu.

Peristiwa itu merupakan suatu mimpi buruk bagi Olivia, dimana harus kehilangan kedua orang tua dalam satu waktu bersamaan. Karir Evan di bidang pertambangan juga baru dimulai, ia bekerja sejak tiga tahun lalu, cicilan apartemen dan mobil harus dipenuhi agar dapat memberikan kehidupan yang layak bagi sang putri kecil. Membayar seorang pengasuh yang membantunya hingga jam pulang dari kantor juga perlu dipenuhi agar ada seseorang yang bersama Olivia sepulang putri kecilnya sekolah. Kata orang, ia lebih baik menikah, agar tidak perlu membayar pengasuh.

CASUAL MESS OF OUR LIVESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang