1 - Junghwan PDKT

909 64 13
                                    

Satu hal yang dibenci oleh Riki.

Kekuasaan orangtuanya. Kekuasaan harta orangtuanya.

Riki tak tahu, harus bersyukur atau bagaimana. Karena dengan kekuasaan sang orangtua, ia bisa mendapatkan semua yang diinginkannya. Namun, dengan kekuasaan orangtuanya juga, Riki dibenci oleh orang yang dicintainya.

Bagaimana tidak? Orangtuanya membeli So Junghwan—pria yang sempat menyelamatkan nyawanya, sekaligus pria yang dicintainya.

Tujuannya? Tentu saja untuk membahagiakan Riki.

Mereka berdua dinikahkan, dengan Riki yang menerima apa adanya, dan Junghwan yang terpaksa.

Riki senang? Hanya sedikit, sisanya tidak. Karena cara yang digunakan oleh orangtuanya itu salah.

Sudahlah, Riki sangat malas membahasnya.

Ini bulan kelima setelah mereka berdua sah menjadi pasutri.

Riki tengah berada di ruang tamu, ditemani buku-buku pelajaran serta teh hangat yang sempat ia seduh tadi. Memfokuskan pikirannya pada materi.

Hingga pintu rumah terbuka, menampilkan sang suami yang datang dengan basah kuyup.

Ah, benar, diluar sedang hujan.

Atensinya beralih ke sumber suara. "K-kak Hwan?" Riki menatap Junghwan khawatir. Kemudian, ia berdiri mengambil handuk yang memang ia siapkan sejak tadi.

Selama lima bulan ini, Riki sudah tahu sedikit tentang Junghwan. Salah satunya; ada hujan badai angin ribut tetap ditrabas oleh pria jangkung itu.

Buset, kayak guru matematikaa aja.

Riki memberikan handuknya pada Junghwan, dan Junghwan menerimanya.

Meski menikah karena terpaksa, Junghwan tahu bagaimana rasanya tak dihargai. Karenanya, Junghwan masih meladeni Riki. Ya, walaupun ngga sepenuhnya.

"Kak Hwan mandi dulu, a-aku buatin coklat panas.  Abis mandi langsung turun kebawah ya, Kak." Setelahnya, Riki bergegas pergi menuju dapur.

Junghwan hanya mengangguk tanpa bersuara. Ia berjalan menuju kamar mandi dan mulai membersihkan dirinya.

Lebih tepatnya, merenungi diri di bawah guyuran air shower.

Lima belas menit kemudian, ia keluar dari kamar mandi dengan handuk melingkar di pinggang. Dan mendapati Riki yang mencari pakaian untuknya dengan tergesa. 

"Kak Hwan, bajunya aku taruh di atas ka— eh udah keluar. Aku taruh disini." Riki yang awalnya berteriak, merubah volume suaranya ketika melihat sang suami telah keluar dari kamar mandi. Dan juga bergegas ke lantai bawah.

Dan Junghwan, hanya diam menatap punggung sempit yang kian menjauh dari jaraknya dan hilang ditelan belokan lorong.

Jika dipikir-pikir, Junghwan sama sekali tak pernah bercengkrama— jangankan bercengkrama, memanggil nama Riki saja tidak pernah. Terakhir kali, ketika dua anak Adam itu berdiri di altar mengucap janji.

Setelahnya, sama sekali tidak. Hanya deheman tak jelas yang ia berikan ketika Riki mengajaknya berbicara.

Sebenci itu kah ia?

Ngga, Junghwan ngga benci. Suka malah. Hanya saja cara pernikahannya yang membatasi dirinya untuk mengungkap rasa.

Singkatnya; Junghwan lebih menuruti ego-nya dibanding perasaannya.

Suara tapak kaki di tangga mengalihkan atensi Riki yang tadi fokus dengan materi pembelajarannya. Ia berlari menuju dapur, dan kembali membawa nampan dengan dua gelas diatasnya.

Menempatkan satu gelas berisi coklat hangat didepan meja sang dominant, dan menyimpan segelas air dengan seduhan jahe serta gula disekitar meja tempatnya belajar.

Tehnya tadi udah abis, hehe.

Dua anak Adam itu saling diam, hingga akhirnya—

"Kak Hwan, buku aku jadi basah, ish!" Dengan bibir yang cemberut, Riki menatap Junghwan tak terima. Susah-susah merangkai kalimat agar mendapat nilai tinggi, malah jadi rusuh karena tetesan air dari rambut Junghwan.

"Kakak juga ngapain deket-deket kesini sih?! aaaa, nyalin lagi ini." Masih dengan bibir yang mengerucut lucu, Riki menggerutu.

"Liat."

Satu kata. Hanya satu kata yang terlontar dari bibir sang dominant—berhasil membuat jantung Riki berdegup lebih cepat dari biasanya. Bibirnya tertarik keatas membentuk sebuah senyuman.

Katakanlah, Riki lebay. Tapi itu memang adanya.

"Mana, lihat." Junghwan membuka suara kembali, Riki tak kunjung memperlihatkan tugasnya. Ia menarik buku tulis yang menjadi korban tetesan air karena rambut basahnya.

Riki kelabakan, lantas menarik buku yang di ambil oleh Junghwan. "Ga boleh." Ucap Riki memeluk buku tulis yang berhasil direbutnya.

Junghwan menaikkan satu alisnya. Riki menunduk, berucap dengan terbata; "m-malu."

Oh, ya ampun. Siapapun tolong ingatkan Junghwan agar tak menerkam cwo manisnya itu.

Eh?

"K-kakak mau lihat, siapa tahu kurang tepat." Pria lulusan sarjana bahasa itu berucap sedikit gugup.

Ini sungguh benar-benar pertama kali mereka bercengkrama. Junghwan merasa sedikit canggung. Berbeda dengan Riki, ia justru sedaritadi tak melunturkan senyum manisnya.

Aduh, Junghwan jadi diabetes.

"K-kak Hwan," Riki memanggil Junghwan dengan mata yang mengerjap berkali-kali, lucu.

"Kenapa?" Kali ini Junghwan tak membalas panggilan Riki hanya dengan deheman.

"Kak Hwan," Riki memanggil sang dominant, lagi.

Junghwan menaikkan alisnya. "Kenapa, hm?"

Riki semakin merona merah. Bagaimana tidak? Dengan suara beratnya Junghwan bertanya dan diakhiri dengan deheman bernada peduli. Rasanya tuh kek— AKSHSJAJSKSKSLKZ.

NGGA BISA DIDESKRIPSIKAN!

"Aku ngga mimpi kan, Kak?"

Junghwan melongo, apa maksudnya?
"Kenapa mimpi?"

Cih, dasar So—ga peka—Junghwan.

Junghwan mengangkat tubuh ringan sang submisive. Yang tadinya duduk dilantai beralaskan bantal sofa, ia pindahkan di atas pangkuannya.

"K-kak,"

Riki bergerak, mencoba melarikan diri dari pangkuan serta pelukan erat posesif Junghwan. Namun, Junghwan justru makin mempererat pelukannya. "Gini dulu."

Apa sih? Riki kan jadi maloe.

Wajah manisnya memerah padam. Jantungnya kembali berdegup lebih kencang. Perutnya terasa seperti dimasuki ribuan kupu-kupu yang berterbangan. Rasa geli, senang, bahagia, risih bercampur menjadi satu.

Gimana engga risih kalo bajunya jadi basah gara-gara rambut yang sedaritadi masih meneteskan air? Tapi Riki suka, hehehe.

"Keras banget suaranya, sayang."

Eh? Junghwan manggil apa tadi? Riki ngga denger.

Riki masih diam, pikirannya masih bergelut. Antara ini mimpi, Riki salah dengar, dan satu lagi— itulah yang sebenarnya.

Ah, lupakan. Riki risih sama kondisi bajunya. Lengket-lengket basah gimana gitu. Mau ganti baju dulu, sekalian ambil handuk buat ngeringin rambutnya Junghwan.

Tapi niat, tinggallah niat.

Junghwan sama sekali tak mengizinkan Riki bergerak sedikitpun. Ia memeluk Riki dari belakang dengan posesif.

"Kak Hwan, kerasukan ya?"



Janlup voment!
Next 👇🏻

hwanki ; marriage [end]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang