Junghwan keluar dari ruangan pribadinya. Dengan berkas-berkas penting bertengger di tangannya.
Junghwan memang lulusan sarjana bahasa, dan cita-citanya menjadi guru bahasa disekolah dulu ia bersekolah.
Tapi karena hubungannya dengan Riki—si anak pemilik kantor ini, Junghwan menjadi penerus. Riki-nya juga ga mau soalnya.
Sehabis jam makan siang akan ada meeting. Dan Junghwan berniat makan siang di kantin dahulu, kemudian bergegas ke ruang meeting.
Namun, langkahnya terhenti ketika netranya menangkap sosok mungil yang belakangan ini menjadi obat lelahnya —sedang bercengkrama dengan salah satu anak buahnya.
Kalo dulu itu, teman Junghwan. Teman Junghwan yang menyukai Riki.
Ia berdiri tanpa bersuara disana, memperhatikan dua manusia itu bercengkrama. Entah apa yang mereka bahas hingga membuat Riki tertawa renyah seperti itu? Itu yang ada dipikiran Junghwan.
Junghwan berjalan mendekat. Menaruh berkasnya dengan sedikit kasar diatas meja—mengagetkan targetnya.
Riki menoleh, dan mendapati Junghwan dengan wajah yang nampak marah. "Eh, Kak Hwan, nih aku bawain bekal. Hehe, Mama tadi masak banyak banget."
"Ngga sekolah?"
"Dipulangin, gurunya rapat."
"Ngapain kesini?"
"Anterin bekal."
"Ngga laper."
Riki yang tadi sibuk membuka tutup masing-masing tepak bekal, berhenti ketika kalimat terakhir Junghwan terlontar. "Oh, yaudah." Ucapnya kemudian menutup kembali bekalnya.
Matanya terasa panas, hatinya perih, dadanya cukup sesak, nafasnya tercekat begitu saja.
Melirik jam yang terikat di pergelangan tangannya, Riki berucap, "Kalo gitu, Ikkie pulang dulu ya, Kak! Semangat meeting nya." Ucapnya dan bergegas pergi.
Junghwan hanya berdehem sebagai jawaban. Sepeninggal Riki, Junghwan menatap tajam ke arah orang yang tadi bercengkrama dengan Riki. Kemudian, berdiri dan berlalu menuju ruang meeting.
Apa-apaan, Riki itu miliknya!
Selama meeting pun, Junghwan sama sekali tak fokus. Yang ada dipikirannya sekarang hanya sang istri.
Jika dipikir-pikir lagi, sepertinya tadi Junghwan terlalu keras? Istrinya datang kesini dengan effort dan harapan ia akan memakan bekalnya.
Tapi apa yang didapatkan istrinya?
"Sekian presentasi dari saya, terimakasih."
Satu orang yang berdiri tadi membungkuk hormat. Dan kalimatnya barusan menarik Junghwan kembali kedunia nyata."Revisi pada bagian promosi." Ucap Junghwan lalu berdiri dan meninggalkan ruang meeting tanpa pamit. Serta meninggalkan gerutuan gemas dari karyawannya.
Tak peduli, ia hanya terpikir soal Riki tadi.
Bagaimana jika istri mungilnya itu menangis? Ah tidak, membayangkan bagaimana mata bulat sang istri sembab saja sudah membuatnya frustasi.
Sampai di rumah, ia tak mendapati sosok yang dicarinya. Jam segini paling-paling nonton TV. Tapi ini anaknya ngga ada.
Berlari menuju kamar, Junghwan malah disuguhi dengan pintu kamar yang terkunci. Dan suara isakan kecil terdengar.
Junghwan makin kelabakan. Ia merutuki dirinya dalam hati. "Sayang?"
Tak ada sahutan. Junghwan mengetuk kembali pintu kamarnya. "Sayang, ini Kakak."
"Keluar dulu yuk, Kakak mau ngomong."
"Say—"
Pintu kamar terbuka menampilkan Riki dengan kondisi acak-acakan. Baju ngga beraturan, hidung merah, mata merah, sembab pula.
Junghwan menarik Riki, merengkuhnya dengan pelukan lembut. "Maaf, maafin Kakak. Harusnya Kakak ngga marah tadi. Maaf."
Riki menarik tubuhnya dari pelukan Junghwan, menatap sang dominant dengan tatapan tanya. "Apa sih, Kak?"
Junghwan menarik napas. Riki ini polos, pura-pura ngga tau, apa gimana sih?
"Maaf, Kakak ngga harusnya marah sama kamu cuma karena kamu bicara sama temen Kakak. Harusnya tadi Kakak nerima bekal kamu. Harusnya Kakak ngga bikin Ikkie nangis."Riki nampak menahan tawanya. "Apasih?" Tanyanya memukul pelan pundak Junghwan. "Aku nangis bukan karena Kakak tadi kok, Hahaha."
Junghwan melongo, lah terus nangis karena apa dong?
"Kak Hwan, aku udah tahu kalo Kakak tadi itu cemburu, jadi aku berusaha nguatin hati serta diri biar ngga nangis, soalnya itu hal wajar." Ucap Riki lalu kembali tertawa lagi.
Junghwan membawa tubuh mungil itu ke kasur dengan cara menggendongnya ala koala tanpa izin. Riki sih, iya-iya aja. Membawanya duduk diatas kasur milik mereka. "Terus, kenapa nangis? Hm?"
Riki menatap sekilas ponselnya yang masih menampilkan drama Korea yang ditontonnya tadi. "Nonton drama Korea, hehe."
Junghwan menepuk jidatnya. Astaga, ada-ada saja. Ia kembali merengkuh tubuh yang dipangkunya. "Ga perlu nonton lagi deh, kalo sampe nangis gini."
Riki kembali menarik tubuhnya, "kenapa ngga boleh?"
Junghwan mengusap mata sembab sang submisive. "Kakak ngga suka liat kamu gini, sayang."
"Tapi aku suka nontonnya."
"Nonton yang ngga ada nangis-nangisnya."
"Ya ngga ada,lah! Kak Hwan ngadi-ngadi!"
"Ada-lah, kata siapa?"
"Ngga usah ngadi-ngadi deh Kak."
"Ada, nih ya." Final Junghwan sembari mengambil ponsel milik sang istri. Mengutak-atik nya, kemudian dibalik, dihadapkan pada Riki. "Ini ada, ngga ada nangisnya."
Ponsel Riki menampilkan gambar animasi semangka dengan antena diatasnya, serta sebuah nyamuk hinggap disana.
Merebut ponselnya, menatap garang pada suami tingginya itu. "Itu mah buat anak-anak!"
"Loh? Kamu bukan anak-anak?"
"Ish!" Riki memukul bahu lebar sang dominant. Menyalurkan rasa kesalnya disana.
Junghwan emang mancing buat ditimpuk.
Janlup voment!
Next👇🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
hwanki ; marriage [end]
Fanfictionno desk, baca aja wkwk just ff Niki -sub! Junghwan -dom! age switch start: 03-03-2023 finish: 03-03-2023