'Seharusnya aku sedang membaca buku di perpustakaan, ' batinnya pelan seraya menghembuskan nafas panjang.
Air mata yang tersapu hujan, dengan tangisan terisak begitulah Lia melakukannya seperti saat ia memenangkan kontes drama pensi di sekolah. Pelukannya pada batu nisan perlahan melepas seusai para pelayat berhamburan. Ia tidak mengerti mengapa adiknya harus bunuh diri tepat di depan matanya.
Malam itu di rooftop apartemen, saat angin berhembus menelusuk hingga ke tubuh. Udara terasa berat untuk sekadar mengucapkan kata-kata. Letusan kembang api yang berkilauan di langit tak lebih dari variasi bentuk berwarna monokrom. Tatapan mata yang sudah tak lagi bercahaya itu tertampang jelas dari raut kusut Tara, adik Lia.
"Aku tak sanggup lagi, " ucapnya sembari membenarkan posisi duduk di atas pembatas.
Lia hanya membalasnya dengan gelengan pelan. Ia tak tahu bagaimana membalas ucapan Tara, meskipun ia pernah berada di posisinya.
Luka lebam di tubuhnya makin parah. Darah merah terlihat di sudut bibir yang tipis itu. Ini sudah lebih dari kasus pembullyan. Lia mencengkram dagu Tara. "Kau tak bisa mengatasinya sendiri?"
Perlahan seperti putri malu yang merundup daunnya saat disentuh. Tak ada yang diharapkan dari Lia. Kakak egois tanpa empati itu. Tara menghempas tangan kecil Lia, namun rautnya masih sama.
"Aku sudah bosan. Hidup sendiri saja, bersama dengan bukumu itu, Kak, " ucap Tara seraya berdiri. Angin menerpanya, semuanya mengecewakan. Bahkan tak ada bintang di langit malam ini.
"Dalam pertengkaran palsu tidak ada keberanian sejati, " ucap Lia mengutip karya William Shakespeare yang sering ia baca, "kau tak akan pernah menang baik di dalam hidupmu atau setelah kematianmu. "
"Kau selalu mengatakan hal yang tidak jelas, " Tara menghembuskan nafasnya perlahan sembari mengumpulkan keberanian, "tapi, yang pasti. Aku takkan mengurungkan niat."
"Sesali sebesar-besarnya saat kau sudah mendapatkan sedikit empati, Kak."
Dan begitulah kalimat terakhir Tara. Dengan kaki pincang ia melangkah ke udara lepas. Membiarkan tubuh ringkihnya remuk lebih jauh. Dengan darah yang berhamburan, orang-orang berteriak ngeri mulai berkumpul ramai. Meninggalkan Lia yang masih diam terpaku melihat jazad adiknya yang hilang bentuk.
"Jangan terlalu larut dalam aktingmu itu, nanti kau lupa cara mengembalikannya, " ucap Nicol. Lelaki itu memang sedikit memiliki kelainan yang jarang ditunjukan pada orang-orang, obsesi tidak penting untuk melihat berbagai ekspresi dari wajah datar Lia. Sedangkan yang disikut hanya menatap kosong wajah lelaki itu.
"Yah, mari kita sudahi omong kosong ini dan segera kembali ke akademi, " ucap Lia sembari merapihkan gaun hitam yang terkena tanah kuburan, "hey, tetap payungi aku. "
Nicol terkekeh pelan, "Siap, nona. "
***
Sorry, karena chapternya pendek. Ini first time lagi aku nulis. Mungkin ke depannya bakal pendek-pendek juga.
Btw, thanks buat yang baca. Saya menerima segala bentuk kritik dan saran yang membangun.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Reason of Suicide
Fantasía"bagaimana aku harus menyikapi sesuai standarisasi sekitar jika aku tak punya perasaan yang sama?" ucap Lia sebelum menemukan hal menarik yang berkaitan dengan kematian adiknya.