Kadang, seseorang harus sampai di titik kehilangan untuk dapat merasakan arti kehadiran. Sayangnya, ketika perasaan itu telah mampu terdefinisikan, tak ada lagi hati yang sama yang menanti. Semua sudah terlambat.
***
"Bu ini tugas saya dan teman-teman."
"Ya. Taruh situ saja."
Aku mendongak sesaat dari kesibukanku memasukkan nilai. Kuamati sekilas siswa kelas X yang baru saja meletakkan setumpuk buku tugas di mejaku. Wajahnya memang beberapa kali menyita perhatianku di kelas.
Bukan karena ia tampan, tapi karena wajahnya begitu familiar dengan seseorang di masa lalu. Bisa dibilang, sangat-sangat mirip. Aku pikir ia pantas jadi adik atau duplikat masa kecilnya.
"Ehm, Aldy... tunggu," kalimatku menggantung di udara, sementara siswa jangkung itu langsung membalik badan ke arahku.
"Ya, Bu?"
Aku diam sejenak. Akhirnya aku urungkan niatku untuk bertanya apakah dia mengenal Delland Rayanda. Bukankah itu konyol sekali.
"Bukunya diambil besok, ya."
Aldy mengangguk dan izin pamit kembali ke kelas.
Bisa-bisanya aku berpikir bahwa Aldy mirip sekali dengan Delland. Sahabat masa kecilku. Sekaligus, cinta pertamaku. Ya, hanya cinta pertama yang nggak kesampaian jadian.
Tahun ini adalah tahun kesepuluh kami 'berpisah'. Lebih tepatnya, aku menjauh dari kehidupannya.
Tapi, sialnya, aku masih sering kepikiran dia. Kadang bayangannya tiba-tiba muncul tanpa permisi. Pas hujan. Saat mendengar lagu kesukaannya diputar di minimarket atau kafe. Atau, pas fokus-fokusnya ngajar, lalu tak sengaja melihat wajah Aldy. Seperti barusan.
"Al, kamu dipanggil Kepsek, tuh."
"Hah? Ada apa ya, Nin?"
"Tahu," Nina, teman kerjaku, guru Bahasa Inggris, mengangkat bahu.
Aku tinggalkan lembar nilai begitu saja dengan laptop yang masih menyala. Biasanya tidak akan memakan waktu lama. Tapi, aku penasaran juga, apa gerangan yang akan disampaikan Kepsek.
"Bu Alisha ini ada undangan mengikuti pelatihan menulis dari perguruan tinggi. Tolong berangkat, ya."
Aku menerima secarik undangan berlabel salah satu perguruan tinggi negeri terbaik di kota sebelah. Kubaca isinya. Pelatihannya besok.
"Baik, Pak. Saya akan berangkat."
"Jangan lupa mampir ke Tata Usaha dulu untuk minta surat tugas dan transport."
Aku pamit dari ruang Kepsek. Kembali ke meja kerjaku dan mengecek tiket kereta api untuk nanti malam. Perjalanan ke kota sebelah hanya perlu waktu empat jam perjalanan, jadi aku tidak perlu buru-buru pulang untuk packing.
Kulanjutkan pekerjaanku memasukkan nilai. Setelahnya, aku lanjut memeriksa tugas yang tadi dikumpulkan Aldy. Kebetulan jam mengajarku sudah habis, jadi aku bisa memeriksa tugas-tugas siswa yang menumpuk di meja. Agar mejaku kembali bersih dan rapi.
Kumulai dari buku tugas yang berada di tumpukan teratas. Tertera nama Aldy Riyandy. Nama yang bagus, pikirku. Sebagus perawakan si pemilik nama. Kuakui, meski Aldy terbilang siswa baru, masih kelas X. Tapi, sosoknya terlihat lebih dewasa daripada teman-teman seusianya.
Aldy memiliki postur yang tegap nan atletis. Kira-kira tingginya 180-an cm. Rambutnya hitam lurus dan terlihat lembut-ketika ia menunduk, anak rambutnya selalu ikut berjatuhan menutupi dahi satu-persatu. Sungguh pemandangan indah yang diam-diam kunikmati. Apalagi, ia juga selalu tercium wangi.
KAMU SEDANG MEMBACA
I MISS YOU, DELL (Cinta Pertama)
Teen FictionCinta yang terlambat disadari, membuat Alisha harus menanggung patah hati sepanjang hidupnya. Bayang-bayang Delland masih mengantuinya bahkan setelah sepuluh tahun lamanya. Kehadiran Aldy, murid SMA-nya, membuat Alisha seperti melihat duplikat Dell...